Takdir - 6

5.1K 326 38
                                    

Keheningan yang kini terjadi. Aura menunggu Steff untuk memulai pembicaraan, sementara Steff bingung harus memulai dari mana. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ia tanyakan, tapi semua pertanyaan itu seolah sulit untuk keluar dari mulutnya.

"Yeah, mama datang!" Siera bersorak gembira saat mendengar deru mobil di halaman rumah yang kini mereka tinggali. Gadis kecil berusia lima tahun itu langsung melompat kegirangan dan berlari untuk menyambut seseorang yang ia sebut mama itu.

Steff kini memandang Aura penuh tanya. Seolah dari wajahnya saja sudah mengungkapkan semua pertanyaan dan kebingungannya sejak tadi.

Aura tersenyum kecil dan hanya sesaat. "Maksudku, anak kakakku juga anakku 'kan?" balasnya tanpa dosa.

Sebuah kelegaan terlihat di wajah pria tampan itu, diiringi dengan munculnya Siera bersama mamanya. Ya, Stefany -kakak Aura yang kini terlihat sedang mengandung, juga Ardan -suaminya yang sedang menggendong anak kedua mereka. Siera menggandeng tangan mamanya dan menariknya paksa, seolah ingin menunjukkan pada mamanya kalau sang tante kedatangan tamu pria untuk pertama kalinya sepanjang ingatannya.

Keluarga Stefany yang tinggal di pinggiran kota ini memang sering datang mengunjungi Aura, juga menitipkan anak pertamanya jika sedang tidak masuk sekolah seperti hari ini. Ramainya anak-anak tetangga membuat Siera betah karena mempunyai teman bermain selain pengasuhnya.

"Steff, bukan?" tanya Stefany memastikan tamu adiknya. Dia memang cukup mengenal Steff sewaktu sekolah dulu.

"Iya, kak. Kakak apa kabar?" Steff bangun dan menyalami Stefany. Ia juga cukup kenal dengan kakaknya Aura itu. Mereka semua akhirnya bergabung di ruang tamu.

"Kemana aja, Steff? Selama ini nggak pernah muncul," seloroh Stefany. "Udah nikah?" lanjutnya, membuat Aura memelototi kakaknya yang sedikit bawel.

Steff tertawa kecil. "Masih nungguin seseorang, kak. Nggak tau dia mau diajak nikah nanti atau nggak," kekehnya.

"Ya dicoba dulu lah," saran Stefany yang akhirnya mendapat senggolan kecil dari suaminya. Steff tersenyum simpul sambil melirik ke arah Aura, sementara Aura hanya menunduk malu, seolah ketahuan oleh sang kakak.

"Oh ya, kakak langsung ke dalam aja ya, Ra, Steff. Biasalah, ibu-ibu hamil gampang cape," kata Stefany pamit sambil mengelus perut buncitnya yang kini bayinya berusia delapan bulan itu.

Aura dan Steff mengangguk bersamaan. Keluarga kecil itu kemudian masuk, termasuk Siera dan adiknya. Tinggallah dua insan itu dalam keheningan.

Aura tersenyum kecil saat pandangan mereka bertemu, tapi tak ada yang mengatakan apa-apa.

"Apa aku masih mempunyai kesempatan? Apa aku masih mempunyai tempat?" Steff bertanya.

Aura menatap bingung. Kesempatan apa? Tempat apa yang dimaksudkan oleh Steff?

"Hm, maksudku, apa perasaanmu untukku dulu masih sama hingga sekarang?" Aura terpaku. Mengerjap bingung berkali-kali.

"Ra?" Steff menyentak Aura.

"Eh? Hm, aku tidak tau. Aku sendiri tidak tau bagaimana perasaanku sekarang. Semuanya terasa hampa," balasnya.

Steff menarik nafas panjang. "Baiklah, aku mengerti. Maafkan aku akan kesalahanku di masa lalu," gumam Steff.

"Apa maksud kamu?"

"Tidak perlu dipikirkan. Bukan sesuatu yang penting, lupakan saja." Steff tertawa sumbang, yang malah semakin membuat Aura kebingungan.

"Aku benar-benar tidak mengerti, Steff," desahnya.

"Lain kali saja kita bicarakan. Aku tidak nyaman jika terdengar kakakmu. Kamu masih mau kan bertemu denganku di masa depan?" Steff menyesap kopinya.

"Aku pulang dulu, masih ada sedikit urusan," pamitnya.

Aura mengantarkan teman lamanya itu hingga ke pintu depan. Menyaksikan kepergian pria itu yang membuat hatinya sedikit sesak, entah karena apa. Ia mendesah panjang sebelum menutup pintu rumahnya.

~~~

Waktu terus berjalan, jam sudah menunjuk ke angka sebelas malam. Tapi Aura belum bisa memejamkan matanya, padahal besok ia harus ikut rapat bulanan dan mempertanggungjawabkan apa yang sudah dikerjakan olehnya selama satu bulan terakhir. Pikirannya selalu saja dipenuhi oleh bayangan akan pertemuannya dengan Steff sepanjang hari ini. Pria itu terus saja menari-nari di pikirannya, membuatnya terus terjaga.

Aura mendesah panjang, menghembuskan nafasnya kasar. Memutar tubuhnya jadi telungkup, berharap bisa menutup matanya barang sekejap saja.

Tapi seperti mustahil. Sulit sekali baginya untuk bisa tertidur. Sampai hari telah berganti, ia belum berhasil memejamkan matanya.

Diliriknya sekali lagi jam di nakas. Sudah jam dua dini hari. Ia mengerang frustasi dan mengacak rambutnya kasar. "Pergilah dari pikiranku, sebentar saja!" kesalnya. Beberapa kali ia memutar tubuhnya untuk menemukan posisi nyaman. Membayangkan sesuatu yang indah untuk bisa membawanya ke alam mimpi.

Entah bagaimana akhirnya ia bisa tertidur. Saat membuka mata lagi, ia melihat jam sudah menunjuk ke angka enam. Meski masih sedikit mengantuk, ia memaksakan dirinya untuk bangun. Tuntutan pekerjaan.

Keberadaan Stefany di rumahnya membuatnya sedikit lebih santai. Tidak harus mengurus Siera lebih dulu baru berangkat kerja.

~~~

Aura terbelalak mendapati Steff sudah ada di rumahnya saat ia baru keluar dari kamarnya akan berangkat kerja. Pria itu sudah duduk dengan santainya bersama segelas kopi di meja. "Ba- bagaimana kamu bisa masuk?" tanyanya sedikit gugup.

"Kak Fany yang menyuruhku masuk." Steff memamerkan senyumnya. "Sudah siap?" lanjutnya, membuat Aura mengernyit bingung.

"Siap? Siap apa?"

"Siap berangkat kerja. Mau kerja kan?"

Aura mengangguk. "I-iya." Masih bingung dengan apa yang sedang terjadi saat ini.

"Ya udah yuk." Steff bangkit dari duduknya. Sangat santai, sama sekali tidak ada beban. Bahkan satu tangannya bertengger indah di saku celana.

"Kemana?" tanya Aura memastikan.

"Ke kantor lah. Masa iya menghadap pendeta? Belum saatnya, Ra." Steff terkekeh pelan, apalagi dengan melihat Aura yang seolah belum mengerti apa-apa. Tapi aneh, Steff terlihat sedikit berbeda. Lebih ceria dan lebih banyak bicara dari sebelumnya. Ada apa gerangan?

Aura masih tenggelam sendiri dalam pikirannya saat Steff akhirnya menarik tangannya untuk keluar rumah. Jika dibiarkan terus, bisa-bisa Aura akan terlambat. Steff langsung menuntunnya masuk ke dalam mobil hingga memasangkan sabuk pengaman untuknya dan menutup kembali pintu mobil. Bunyi debuman pintulah yang akhirnya menyadarkan Aura kalau posisinya saat ini tidak lagi di dalam rumah.

Steff melangkah cepat, mengambil posisi di kursi kemudi. Tidak akan membiarkan Aura kabur dari mobil. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah menjalankan mobil.

Aura terdiam dalam duduknya, tidak mengatakan sepatah katapun. Bahkan melirik pada Steff-pun tidak. Ia memeluk tas kerja di pangkuannya.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi saat ini? batinnya. Otaknya sibuk mencari jawaban yang mungkin untuk pertanyaannya sendiri.

"Sudah sampai." Akhirnya suara itu membuyarkan pikirannya. Ya, mereka sudah tiba di depan kantor Aura. "Tapi sebaiknya kita sarapan dulu. Kamu belum sarapan 'kan?" lanjut suara itu lagi sebelum Aura keluar dari mobil.

Lagi-lagi, seperti orang bodoh ia menurut saja saat Steff menuntunnya menuju kantin. Hingga menu sarapan tersaji di hadapannya.

Seolah tersadar, Aura mengedarkan pandangannya ke seisi kantin. Hanya ada mereka berdua yang menjadi tamu saat ini. Dua orang penjaga kantin sedang sibuk di ujung sana. Pagi hari seperti ini mereka harus menyiapkan segala sesuatunya sebelum jumlah tamu yang akan mereka hadapi membludak.

"Ra."

Aura menatap Steff di depannya. Pandangan pria itu sangat dalam padanya. Sedang memohon(?) Tapi untuk apa?

"Maafkan aku, Ra. Tapi...aku, aku mencintaimu."

Tbc
Vote & comment

Sorry for typo(s)

Takdir Cinta (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang