Seperti yang sudah dijanjikan oleh Steff malam sebelumnya, ia mengenakan jam pemberian Aura. Terlihat sangat pas untuk tangannya yang mulai berotot. Aura jadi semakin sering melirik ke arah Steff selama di kelas padahal dia duduk di bagian depan, sementara Steff ada di bagian belakang. Kadang melihatnya sambil tersenyum sendiri. Merasa puas dengan pemberiannya yang tak diduga akan sebagus itu di tangan kokoh Steff.
"Kalau berbalik terus, setelah ini kamu harus ke tukang pijit. Dan kalau senyum terus orang lain akan menyangka ada yang salah denganmu dan membawamu ke tempat rehabilitasi." Suara Viola menyadarkan kembali Aura.
Aura menatap sinis pada sahabatnya yang duduk tepat di sebelahnya. "Memangnya kamu doang yang bisa senyum-senyum sendiri karena diajak balikan?" ketusnya.
"Tapi nggak separah itu juga, Ra." Viola menggeleng pelan."Ini nih efek cinta, bikin orang senyam-senyum sendiri," gumamnya.
Aura tidak menggubris lagi. Lebih penting baginya untuk menatap Steff lebih lama lagi dibanding berdebat dengan sahabatnya. Apalagi Steff yang sedang serius mengerjakan sesuatu dengan teman satu mejanya, terlihat sangat tampan. Sayangnya kedatangan guru ke dalam kelas mengganggu kegiatan Aura.
~~~
Jam istirahat sepertinya adalah sesuatu yang sangat menyenangkan dan paling dinanti oleh Aura. Dimana dia akan bebas memandangi sang pujaan hati tanpa takut terganggu dengan kedatangan guru. Tapi kadang ia dibuat kesal juga oleh gadis lain yang juga suka dengan Steff, yang dengan beraninya menggoda Steff di depan matanya. Dan seringkali kenyataan kalau Steff belum jadi miliknya menyentil dirinya sendiri. Itu berarti siapapun masih mempunyai kesempatan untuk mencoba mendapatkan Steff.
Seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelah Aura -yang sedang duduk di bangku taman- mengagetkan gadis itu. Ia melotot pada pria di sebelahnya yang malah memasang senyum -cengiran- tidak bersalahnya.
Aura memutar bola matanya kesal. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya penuh kekesalan.
"Eh, cewek cantik jangan galak-galak dong. Nanti cantiknya hilang loh, digantiin sama keriput. Nggak mau 'kan?" goda pria bernama Kardi itu. Pria yang memang sejak dua tahun yang lalu seringkali menggoda Aura, bahkan berkali-kali menyatakan cintanya untuk Aura tapi selalu ditolak. Aura sama sekali tidak pernah membayangkan akan suka pada pria itu. Seluruh hatinya sudah untuk Steff.
"Kok diam aja sih, Ra?" tanya Kardi lagi karena Aura malah mengabaikan celotehannya. Ia kemudian mengikuti arah pandang Aura yang tak lain adalah untuk Steff. Namun Kardi sama sekali tidak menemukannya.
"Daripada bengong di sini sendirian, mending kita ke kantin aja," ajak Kardi lagi. Aura menggeleng dan menepis tangan Kardi yang akan menggenggam tangannya.
"Nih." Bertepatan dengan itu, Viola muncul dan memberikan buku tulis seratus lembar yang dibawanya ke pangkuan Aura. Beberapa menit yang lalu Viola meminta buku itu padanya untuk menuliskan sesuatu di dalamnya.
Buku itu keduanya sebut sebagai buku curhatan. Lebih seperti sebuah diary, tapi milik berdua. Setiap kali keduanya mengalami sesuatu yang ingin diingat dalam waktu lama, mereka akan menuangkannya ke dalam buku itu.
"Kau ngapain masih di sini?" desis Viola pada Kardi.
"Galak banget sih," gerutu Kardi sambil bangkit dari duduknya. "Ra, nanti pulang bareng ya," bujuk Kardi sekali lagi dan menjauh meninggalkan keduanya.
"Lapar nih, ke kantin yuk." Keduanya bangkit setelah ajakan Viola itu. Sejujurnya Aura juga merasakan hal yang sama. Sejak tadi ia hanya melupakan perut laparnya, merasa kenyang hanya dengan memandangi Steff.