Aku tidak lagi seorang gadis.
Tubuh Steff menegang. Tidak tau harus berbuat apa. Satu kalimat pendek yang Aura ucapkan tadi mampu memporak-porandakan dirinya.
Tapi apa yang Aura maksudkan dengan kalimat itu?
"Aku tidak mengerti, Ra." Steff berucap.
Aura mengangkat wajahnya. Sedikit tidak yakin untuk menjelaskannya. Tapi ketulusan yang ia dapat di mata indah Steff membuatnya luluh. Cerita pahit itu lantas mengalir begitu saja disertai deraian air mata. Ya, cerita masa lalu yang menjadi titik paling rendah dalam hidup Aura. Hari dimana ia kehilangan kehormatannya secara paksa dan tidak adil baginya, sekitar tiga tahun yang lalu.
Steff sendiri tak bisa memberikan komentar apa-apa. Dia diam, tak tau harus berbuat apa.
"Aku pulang dulu." Kalimat itu yang akhirnya Aura ucapkan. Karena ia yakin, Steff pasti akan berpikir dua kali untuk bisa menerima dirinya kembali. Tangannya bergerak untuk membukakan pintu mobil Steff, berencana untuk naik angkutan umum saja karena sepertinya pria itu juga tidak bisa mengantarkannya pulang.
Tapi belum sempat pintu mobil itu terbuka, tubuhnya sudah ditarik oleh Steff, dibawa dalam pelukannya. Tubuhnya juga ikut bergetar karena menangis. Keduanya kini tenggelam dalam tangis pilu yang sungguh menyayat hati.
"Maafkan aku, Ra. Seharusnya aku menjagamu. Maafkan aku." Steff terus saja menggumamkan kata-kata maaf di telinga Aura. Tangannya mengusap punggung Aura yang juga bergetar.
Sementara gadis itu menggelengkan kepala dalam dekapan Steff. Ingin mengatakan kalau itu sama sekali bukan salah Steff, tapi suaranya tercekat hanya sampai tenggorokan.
Steff melepas pelukannya setelah beberapa saat. Kedua tangannya merangkum wajah Aura dan jempolnya mengusap jejak air mata di sana. Diperhatikannya dalam-dalam mata hitam Aura yang kini memerah dan masih berkaca-kaca. Hal itu semakin membuatnya terluka.
"Aku mencintaimu, Ra. Aku tulus mencintaimu. Dan itu bukan jadi alasan buatku untuk tidak mencintaimu lagi," katanya meyakinkan Aura.
"Tapi aku sud-" Kalimat yang ingin Aura sampaikan terputus begitu saja saat Steff membungkamnya dengan jari telunjuk yang menempel di bibir gadis itu.
Steff menggeleng pelan tanpa melepas jemarinya. "Jangan pernah mengatakan hal-hal seperti itu. Kamu wanita paling suci untukku," katanya sembari mengusap lembut wajah Aura yang masih sembab. Ia tau kalimat apa yang akan diucapkan oleh gadisnya.
"Aku mencintaimu, Ra." Entah sudah keberapa kalinya Steff mengucapkan kalimat itu hari ini. Tapi tidak ada bosan-bosannya ia ingin mengungkapkannya, lagi dan lagi. "Aku mencintaimu, maukah kamu menikah denganku?" lanjutnya.
Sekali lagi Aura meneliti ke dalam mata coklat Steff. Tidak ada kebohongan, tidak ada kepura-puraan di sana. Pria itu tulus mengatakannya. Pada akhirnya ia menganggukkan kepala. "Iya, aku mau. Aku juga mencintaimu," katanya.
Steff memeluk Aura -lagi, sangat erat. Sebuah kebahagiaan kecil membuncah dalam dirinya, hingga air mata bahagia itu jatuh. Katakan dia pria manja, ia tidak peduli. Apa yang dia rasakan dan dengar hari ini terlalu menguras emosi. Mempermainkan dirinya, terjatuh teramat dalam hingga diangkat kembali melambung di udara.
Steff mendekatkan wajah mereka. Sebuah kedipan mata Aura seolah menjadi tanda persetujuan baginya. Dengan berani ia menyentuhkan bibir mereka. Hanya sekedar bersentuhan. Rasa lembut dan hangat yang ia terima. Hingga akhirnya dengan berani ia menggerakkan bibirnya. Secara perlahan mengulum bibir Aura.
Ciuman pertama mereka, cukup mengesankan. Tidak ada gairah sama sekali di dalamnya. Hanya ingin mengungkapkan perasaan cinta lewat ciuman hangat itu.