Tubuh Aura gemetar hebat mendengar kalimat yang dilontarkan mama mertuanya. Mengepalkan kedua tangannya untuk mengumpulkan keberanian. Apakah mama mertuanya semarah itu padanya dan juga Steff?
Steff yang menyadari ketakutan Aura memilih untuk menggenggam tangan itu. Memberikan kekuatan dan kenyamanan sekaligus. Kemudian balas menatap mamanya yang terlihat jengah. "Ma, mama boleh menganggapku bukan anak mama lagi dan Aura bukan menantu mama. Tapi bagi kami, mama tetaplah mama kami. Apapun yang terjadi. Jadi jangan meminta kami untuk tidak menganggap mama lagi sekalipun perintah mama tidak semuanya bisa kami lakukan." Ia menahan emosinya agar tidak pecah. Terlebih karena sejak tadi mamanya tidak lagi menyebut dirinya sebagai mama.
"Iya. Karena itu jangan mengusik kehidupanku lagi. Urus saja urusan kalian!"
"Cukup, ma! Mama tidak ingin kami mengusik mama, kami lakukan. Tapi kami tidak mengusik mama bukan berarti kami tidak peduli lagi pada mama. Kami memperhatikan mama. Dan apa pria tadi yang sudah mengubah mama jadi seperti ini?"
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Steff, meninggalkan jejak merah dan rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Dan kali ini Aura mengelus lengan suaminya, berusaha untuk menenangkan. Ia juga tidak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan. Mama mertuanya sedang marah besar, dan berani menampar anaknya di tempat umum seperti ini.
"Aku tidak butuh persetujuan kalian, sama seperti kalian yang tidak mau mendengarku. Dan lagi, aku lebih berpengalaman dibanding kalian." Mama Steff berbalik.
"Ma." Aura menghentikan langkah mama mertuanya. Air matanya sudah mulai berjatuhan, namun dihapusnya asal. Ia melepaskan lengan Steff dan mendekati mama mertuanya. "Kalau mama ingin anak mama kembali pada mama, Aura akan lepaskan." Kalimat itu terlontar tanpa pemikiran panjang. Hanya keputusan sekejap setelah ia menyaksikan semua ini. "Aura juga tidak ingin Steff menjadi anak durhaka."
"Sayang..." Steff ikut mendekat. Melupakan sejenak rasa panas yang masih terasa di pipinya. Menatap tidak percaya pada Aura yang sangat berani melontarkan kalimat itu.
'Melepaskan' katanya? Sungguh kata yang jauh dari dugaan Steff. Hanya membayangkan saja membuat Steff bergidik ngeri. Terlebih setelah apa yang mereka lalui selama bertahun-tahun. Baru sebentar bersama kembali, mengapa harus berpisah lagi?
"Aku tidak apa-apa, Steff," katanya. Namun tidak dengan air matanya yang semakin deras. Ia sendiri juga tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika harus berpisah lagi dengan Steff. Tapi ia juga tidak bisa membiarkan suaminya jadi anak durhaka. Bayangan cerita dongeng tentang anak durhaka yang berubah menjadi batu atas kutukan ibunya melintas begitu saja dalam pikiran. Dan ia tidak mau Steff mengalami hal yang sama seperti itu -meski tidak masuk logika.
Steff menggeleng kuat. "Tidak, sayang. Aku tidak bisa dan tidak akan bisa."
"Steff..."
"Hentikan drama kalian ini!" Mama Steff berkata dan langsung meninggalkan keduanya.
Steff menarik Aura ke dalam pelukannya. Menyembunyikan wajah wanitanya yang semakin menangis histeris. Tidak peduli dengan kaosnya yang akan basah. Ia juga mengusap punggung yang bergetar itu, sesekali mengecup puncak kepalanya.
"Jangan pernah mengambil keputusan saat sedang emosi. Kamu bisa menyesal nantinya," bisik Steff. Aura hanya menggeleng dalam pelukannya. Tangannya mencengkeram kuat kaos Steff. Ia juga tidak ingin perpisahan lagi di antara mereka.
"Sudahlah, akan ada saatnya nanti mama akan tersadar dan menyesali hal itu."
~~~
Zaskia kembali ke mejanya dengan wajah kesal. Adegan saling membujuk antara Steff dan Aura tadi sedikit membuatnya muak. Ia menghempaskan tubuhnya sedikit kasar.