Halo~~~
Steff dan Aura balik lagi nih.
Tapi cerita tentang bulan madu sengaja di skip yah, berhubung ini bulan puasa.
Selamat membaca dan selamat menunaikan ibadah puasa.***
Aura masih sibuk dengan laptopnya saat Steff masuk ke kamar. Semenjak pulang dari bulan madu, keduanya sudah kembali pada aktivitas rutinnya.
"Masih sibuk?" sapanya dengan memegangi kedua lengan Aura dari belakang. Wajahnya disejajarkan dengan wajah Aura. Sekilas melihat ke layar laptop istrinya yang menampilkan angka-angka.
Aura menoleh dan mengangguk pelan. Dikecupnya pipi Steff.
Kemudian Steff kembali berdiri tegak. Wajahnya berubah serius. "Apa belum ada tanda-tanda?"
Aura menghentikan kegiatannya. Memutar tubuh menghadap suaminya. Ia tau betul apa yang dimaksudkan oleh suaminya itu. Ia menggeleng pelan.
Sudah beberapa bulan sejak bulan madu, tapi hingga kini belum ada tanda-tanda kalau Aura hamil. Padahal mereka sudah berjuang keras. Karena sesungguhnya mereka sudah tidak sabar untuk menggendong bayi.
"Apa kita ke dokter saja?" tanya Aura. Ia tidak ingin Steff lagi-lagi kecewa. Walau sebenarnya ia juga sama.
Steff yang mendudukkan diri di tepi kasur, menatap dalam wajah istrinya. Mereka memang belum tau dimana letak kesalahannya. Sedikit ada rasa takut juga, jika mereka harus mendengar kenyataan yang menyakitkan atau bahkan mengerikan. Tapi mungkin akan lebih baik seperti itu. Jadi mereka bisa memperbaikinya segera sebelum terlambat.
"Kamu yakin?"
Aura mengangguk yakin. Ia memang sudah memikirkan hal ini lebih dulu. Tapi belum menemukan waktu yang tepat untuk mengajak Steff.
"Kalau begitu, besok sepulang kerja kita ke dokter," putus Steff yang diiyakan oleh Aura.
***
Tubuh keduanya menegang. Kalimat yang diucapkan dokter barusan bagai petir yang menyambar jiwa dan raga keduanya. Jauh di dalam lubuk hatinya berharap kalau ini hanyalah mimpi. Namun harapan itu tinggal harapan. Ini adalah nyata.
Kista.
Hanya kata itu yang berputar-putar di kepala Aura sekarang. Membuatnya tak mampu untuk berkata-kata.
Steff yang menyadari kalau Aura adalah orang yang paling sedih saat ini, meraih tangan istrinya yang diam bertautan di pangkuan. Diremasnya kuat tangan itu, memberikan kekuatan. Pandangannya menatap kasihan pada istrinya itu. Walau sebenarnya ia sendiri tak kalah sedih dan terluka saat ini.
"Apa satu-satunya cara hanya operasi, dok?"
Wanita paruh baya yang mengenakan pakaian putih di hadapan mereka mengangguk. Dibetulkannya letak kacamata di atas hidungnya dengan pena masih dalam genggaman. Sementara tangan kirinya masih memegangi hasil pemeriksaan kesehatan Aura.
"Tapi, Aura tetap bisa hamil kan, dok?" Ada ketakutan dalam diri Steff. Ketakutan yang luar biasa.
Dokter bernama Shanty itu menatap keduanya bergantian. "Tergantung kesehatan ibu setelah semua prosedur dijalankan."
Aura menggigit bibir dalamnya. Kedua tangan masih saling meremas di pangkuannya. Mata indahnya bahkan berkaca-kaca. Namun pikirannya melayang-layang, tidak lagi di tempat ini. Jangankan untuk memikirkan kehidupannya setelah operasi, membayangkan operasinya sendiri saja ia sudah bergidik ngeri.
Bagaimana jika operasi ini tidak berhasil? Bagaimana jika ia harus kehilangan rahimnya? Bagaimana jika ia tidak akan pernah hamil dan punya anak? Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana.