Tujuh Belas - Kakak Kelas

70.2K 3.9K 451
                                    

Aku mengecek pantulan diriku di kaca, setelah mengangguk puas aku menaruhnya kembali dalam  tas.

Dimana ya?

Tanyaku dalam hati sambil mencari kertas yang membuatku terjaga semalaman. Aku ingat benar sudah menaruhnya di dalam tas sebelum tidur. Tidak mungkin aku lupa membawanya, kan? Kertas itu yang membuatku hampir terlambat di hari pertama sekolah.

Aku melirik sekilas ke arah Ivan yang sedang menyetir di sebelahku.

Ya.

Hari ini dia resmi menjadi murid sekolahku.

Tepatnya, kakak kelas di sekolahku.

Bayangkan saja bagaimana perasaanku sekarang.

Aku memperhatikan jalanan yang sudah tidak asing lagi bagiku. Artinya tak lama lagi, kami akan sampai.

Great.

Aku berdehem pelan mencoba mengambil perhatian Ivan.

“Kenapa?”

“Lo sadar kan kalau kita sekarang satu sekolah?”

“Hm,” jawabnya sambil mengangguk.

“Lo sadar juga kan sama kita yang gak biasa ini?”

Ia mengangguk lagi.

Aku berdehem untuk menutupi rasa gugupku, “jadi…setelah gue pikir kayaknya kita butuh beberapa kesepakatan.” Aku memperhatikan ekspresi wajahnya untuk melihat adanya perubahan. Tidak. Dia hanya menungguku hingga selesai bicara. “Tujuannya ya…buat jaga-jaga aja sih. Lo ngerti kan? Kita bisa dikeluarin dari sekolah kalau berita kita udah nikah sampai tersebar.”

“Ok.”

“Sebenarnya gue udah bikin, kalau ada yang mau lo tambahin atau ubah boleh,” kataku lalu menarik nafas dan mulai membaca satu persatu apa yang kutulis di kertas tersebut.

“Hmm..hindari berbicara satu sama lain semaksimal mungkin, terus jangan sampai terlihat berlebihan dalam bentuk apapun. Jangan membicarakan—“

YA AMPUN. apa aku benar-benar menulis ini?

“—masalah rumah tangga di lingkungan sekolah. Hindari melakukan kontak fisik…,”

memang sejak kapan kami melakukan kontak fisik? Aku menggelengkan kepalaku heran. Ini pasti karena aku membuatnya saat mengantuk.

“…dilarang memberitahu siapapun tentang pernikahan ini. Err, kayaknya itu aja deh, menurut lo gimana?”

Ivan membalas dengan gumaman singkat.

“Gak ada yang mau lo tambahin?”

Dia tidak menjawab.

Yasudah sih.

Bangunan sekolahku mulai terlihat dari kejauhan. Buru-buru aku membereskan barang-barangku yang berantakan. “Van, gue turun disini aja.”

“Hah?”

“Iya, ambil kiri Van. Gue turun disini.”

“Kenapa?” tanyanya namun tetap menyalakan lampu sign ke kiri.

“Kalau ada yang liat gue turun dari mobil yang sama kayak lo gimana? Makanya gue turun disini.”

“Ya ampun, Ki. Kan bisa bilang ‘temen’.”

“Temen tapi kok ngantar jemput?”

“Lagi pdkt kali,” jawabnya asal.

“Dih. Masih anak baru, udah main pdkt aja,” balasku mengoloknya.

Highschool MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang