“Kei, bangun kei!”
“Kei!”
.
.
“Kei!! Jam tujuh loh Kei!!”
”Iya iya ini Keinya sudah bangun mama!” jawabku setengah sadar lalu menarik selimut untuk menutupi telingaku. Baru saja aku akan kembali tidur dengan nyenyak, suara teriakan mama kembali terdengar di kamarku,
“Ya ampun Kei! Ini hari pernikahan kamu!!”
Hari pernikahan?
“Sudah jam segini tapi kamu belum mandi, belum make up, nanti Ivan datang kamu belum siap gimana?!”
Pikiranku yang masih setengah sadar belum bisa mencerna apa yang mama katakan. Ivan siapa?
“Cepat, pokoknya bangun sekarang!” mama menyibak selimut dengan kasar, dan langsung mendapat erangan kesal dariku.
“Ada apa sih ma?” tanyaku sambil berusaha bangun dari kasur nyaman ini.
“Hari pernikahan kamu kei! Masa kamu lupa?”
Oh.
Sekarang, baru aku mengerti dengan segala kesibukan di minggu pagi yang tak biasa ini. Ivan. Sial, mengingat namanya saja membuat aku merinding. Bahkan bila ada kemungkinan aku bisa melupakan hari ini aku akan menikah, aku akan sangat senang.
“Keei! Awas kalau kamu tidur lagi!” Suara mama terdengar dari lantai bawah. Dengan menggerutu pelan, aku beranjak dari tempat tidur, lalu mengambil handukku dengan malas.
»»»»»»»»»»
“Kei jangan banyak gerak-gerak! Make up kamu belepotan kemana-mana jadinya!”
“Iya iya” balasku dengan malas. Sejak pagi mama tidak henti-hentinya mengomel. Ia sibuk mondar-mandir mempersiapkan ijab kabul yang akan di laksanakan di rumah kami sambil terus mengecek jika aku tidak melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan di hari ini. Memangnya mama pikir aku akan berbuat apa? Melompat keluar jendela mencoba kabur dari pernikahan ini dan kembali mungkin satu minggu atau satu bulan kemudian, atau dengan brutal menggunting gaun pernikahanku lalu menyekap perias wajahku di dalam lemari?
Setelah kupikirkan, ide tadi boleh juga.
“Duh, bisa-bisa mereka keburu datang Kei,” kata mama sambil mengecek jam tangan untuk yang kesekian kalinya. Papa hanya tersenyum kecil kepadaku. Tatapannya seakan memberitahuku ia mengerti apa yang kurasakan saat ini.
“Santai aja ma, santai.”
“Apanya yang santai! Sudah kamu diam dulu biar gampang di make up nya!” Mama lalu berbalik keluar dari kamarku.
“Sabar ya, Kei.” Papa menepuk pundakku lalu ikut berbalik mengikuti mama.
Aku menghembuskan nafas lelah. Aku masih tidak percaya bahwa ini bukanlah mimpi. Hari ini, tidak. Tepatnya beberapa jam lagi, Ivan akan datang kerumah dan kami akan sah menjadi suami istri. Setelah itu kami akan pergi ke rumahnya, sebagai tempat resepsi pernikahan kami. Sudah kubilang, kami tidak membuat acara besar-besaran.
Tidak menggelar acara besar serta hanya mengundang beberapa kenalan dekat saja mama sudah seheboh ini. Bagaimana bila semua kenalan kami diundang? Aku menggelengkan kepalaku mencoba menghapus bayangan mama yang sibuk kesana-kemari menyiapkan pernikahan itu.
“Bisa hadap kaca sekarang, mba,” suara perias wanita dihadapanku membuyarkan lamunan tadi. Baru sekarang aku memperhatikannya, ia terlihat masih berusia kepala tiga atau empat. Senyumnya begitu menenangkan. Dengan hati-hati aku berbalik menghadap kaca di belakangku. Entah kenapa, mama melarangku melihat kaca selama di make up.
KAMU SEDANG MEMBACA
Highschool Marriage
Ficção AdolescenteAku menyayangi mama dan tidak pernah membantah,tapi menikah? yang benar saja! Mama pasti sedang bercanda, kan? Walaupun aku pernah berkata ingin nikah muda, bukan berarti Ia harus menikahkanku di umur 16 tahun! terlebih lagi dengan kakak kelasku sen...