Sembilan - Dilema

71.9K 3.8K 40
                                    

Terkadang, waktu bisa berjalan terlalu cepat. Tanggal pernikahanku dengan Ivan tinggal satu minggu lagi. Mama dan tante Dian benar-benar sibuk mempersiapkan semuanya. Kami tidak mengundang terlalu banyak orang—tentu saja! Apa yang akan dipikirikan orang-orang kalau tahu anak SMA sepertiku akan menikah?!—hanya orang-orang terdekat kedua keluarga. Itupun juga tidak semuanya.

Semakin dekatnya waktu pernikahan kami, semakin sering pula aku berfikir tentang hal-hal yang akan terjadi selanjutnya. Meskipun aku akan tetap tinggal di rumahku, perubahan status yang cukup mendadak membuatku merasa aneh. Bagaimana aku harus bersikap di hadapan Ivan nantinya? Aku menghela nafas berat.

“Ki,” panggil Ivan dari belakangku.

“Apa?”

“Lo mau balik sekarang gak? Gue sekalian mau pergi,” tawarnya. Tanpa pikir panjang ku ambil tasku, lalu berjalan ke luar rumah. Tante Dian baru saja memberikanku sedikit ‘nasihat’ tentang menjadi istri yang baik. Aneh kan? Padahal aku dan Ivan tidak akan tinggal dalam satu rumah tetapi tante Dian seperti melupakan tersebut.

Mengobrol dengan tante Dian memang tidak pernah membosankan, tapi bisa jadi menyebalkan saat ia mulai menyingung tentang Ivan.

Seperti saat aku sedang menemani tante Dian belanja bulanan, tiba-tiba tante Dian malah berkata, “Kei, Ivan cakep banget ya. Tante juga bingung dulu ngidam apa kok bisa jadi cakep gitu..” atau di saat membahas tentang perpindahan Ivan, tante Dian akan melontarkan pertanyaan seperti, “di sekolah kamu pasti gak ada yang sekeren Ivan kan, Kei?” dan di saat aku, Ivan dan tante Dian berada dalam satu mobil, tante Dian pasti tak akan berhenti menggodaku, “Ivan itu didepan kamu aja Kei, jadi diam gitu. Ih aslinya berisik banget. Gugup ya Van?”

dan aku hanya bisa tersenyum awkward.

Mempunyai orang tua yang terlalu gaul terkadang ada tidak enaknya juga.

Ngomong-ngomong soal Ivan, tidak ada hal baru yang terjadi di antara kami. Meskipun hampir setiap hari Ivan mengantarku kesana-kemari—bukan aku yang memintanya! Semua juga pasti tahu siapa yang menyuruhnya,kan?—tapi suasana awkward yang ada tidak pernah berubah. Ketika aku dan Ivan hanya berdua, kami hanya berbicara seperlunya lalu kembali diam. Bukan aku protes, tapi aneh kan? Apalagi mengingat satu minggu lagi kami akan menjadi…

Sudahlah, aku tidak mau menyebutkannya.

»»»»»»»»»»

“Kei”

“Hm?” aku membalas dengan gumaman pelan.

“Kei”

Kembali aku bergumam, kali ini lebih keras.

“Kei”

“Kei”

“Kei Kei Kei Kei Kei Kei Kei Kei Kei Kei”

“Apaan sih lo, Ne?!” balasku sambil memukul pelan lengan Anne kesal.

“Lo tuh yang apa! Daritadi gue manggil di kacangin, capek!” balas Anne tidak kalah kesalnya.

“Ih kenapa sih, Ne? Lo pms ya? Sensi banget,” kataku yang jadi takut juga melihat Anne seperti ini. Perlu kalian tahu, Anne adalah orang yang lebih banyak bercanda daripada seriusnya. Semua hal selalu menjadi bahan candaannya saja. Pribadinya membuat Anne sangat jarang terlihat marah. Tapi ketika Anne marah, tidak ada yang berani mengganggunya.

Anne hanya diam.

“Ne, lo marah sama gue? Yah, Ne masa gitu marah? Maaf doong,” kataku lagi sambil memeluk lengannya.

“Tau ah, lo nyebelin banget,” balas Anne masih dengan wajah kesal, tapi tidak terlalu menyeramkan seperti tadi. Anne pasti tidak akan bisa marah lama-lama denganku.

Highschool MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang