Sebelas - Ew

82.9K 4.2K 77
                                    

Suara jeritanku terdengar di seluruh penjuru rumah sesaat setelah aku membuka mata. Dimana ini? Otakku yang belum berfungsi sempurna sama sekali tidak membantu di saat seperti ini. Merasa terganggu dengan suaraku, dia mengerang pelan sambil memperbaik posisi tidurnya. Mataku menatapnya dengan horror.

Ivan.

Dia alasan teriakanku pagi ini.

Bagaimana bisa kami bisa berada dalam satu kamar atau lebih tepatnya satu ranjang?! Fakta bahwa dia tidak memakai apapun, melainkan celana pendek selutut tidak membuat keadaan semakin baik. Aku juga yakin kalau ini bukanlah kamar Ivan, karena seingatku kamar ini berlawanan arah dengan kamarnya, jadi kenapa dia ada disini?! Aku tidak bisa membayangkan tidur semalaman dengan seseorang yang tidak memakai baju. Ew. Baiklah aku tahu dia sudah menjadi suamiku tapi tetap saja kan?

Suami.

Then the realization hit me.

Seperti mendapat tamparan keras dari kenyataan, bayangan kejadian kemarin berputar cepat di kepalaku. Aku mulai memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Sekarang semuanya jelas, mengapa Ivan ada disini dan mengapa kami berada di satu kasur yang sama. Mengingat kejadian kemarin membuatku merasa mual.

Tenanglah, Kei.

Aku putuskan untuk mengecek diriku, memastikan bila pakaianku masih terpakai sempurna—jangan berpikir macam-macam—atau apakah aku mendapatkan luka atau semacamnya. Segala kemungkinan bisa terjadi kan?

Tiba-tiba saja Ivan menarik selimut yang sedang kupegang. Refleks aku balas menarik selimut itu kemudian menendang Ivan tepat di perutnya. Suara erangan kembali terdengar—kali ini lebih kencang. Harusnya dia tahu untuk tidak mengagetkan seorang perempuan yang sedang sibuk dengan pikirannya. Jadi, jangan salahkan aku jika tendangan refleksku harus mendarat di perutnya.

Aku yang terlalu sibuk meyakinkan diri bahwa aku tidak bersalah, tidak menyadari bahwa Ivan sudah terbangun sekarang.

“Lo tahu,” katanya sambil berusaha bangun dari tempat tidur. Aku menoleh ke arahnya untuk melihat wajahnya, Apa dia marah? Terkadang aku bisa menendang terlalu keras jika dikagetkan seperti itu. “menendang bukan cara yang tepat untuk membangunkan seseorang.” Ia meringis sambil memegangi perutnya. Yang aku tahu, itu pasti sangat sakit saat ini.

“Salah lo,” balasku dengan nada yang sedikit kasar. Aku tidak bermaksud untuk mengatakannya seperti itu. Justru, pada awalnya aku ingin meminta maaf, tapi seperti terpancing dengan kata-katanya, otak dan mulutku tidak berkejasama dengan baik.

“Oh jadi, ketika seseorang tidur lalu ia tiba-tiba mendapat tendangan sesungguhnya adalah salah dari orang itu sendiri? Maaf, tapi gue gak tahu kalau orang yang sedang tertidur bisa memulai sesuatu yang harus dibalas dengan tendangan di perutnya,” kata Ivan dengan nada mengejek sambil menekan beberapa kata. Ia menatapku dengan tajam.

Mendengar kata-katanya membuatku menjadi semakin kesal, aku balas menatapnya dengan sengit lalu berkata dengan dingin. “Pelajaran yang harus lo ambil adalah, jangan mengagetkan seorang perempuan karena lo gak tahu apa yang bisa dilakukan perempuan jika ia kaget.”

Aku berbalik dan meninggalkannya di kamar. Tiba-tiba, aku tidak merasa menyesal tidak meminta maaf karena sudah menendangnya.

»»»»»»»»»»

Aku berjalan ke dapur untuk mengambil minuman. Aku merasa haus setelah berteriak-teriak seperti tadi. Stupid Ivan, pikirku kesal. Aku menghela nafas, lalu duduk di salah satu kursi. Bunda datang tidak lama kemudian, ia menyapaku saat melihatku duduk di dapur.

Highschool MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang