Part 15

933 18 10
                                    

Hiiiii! enjoy this part aha;)x sorry I not post more part early I was in exam-_-v even I know nobody read this story:') I got some miracle today so I can finish this part-.-v sorryyyy once again:') enjoyyy! x

***

“Look it’s them!” seru sebuah suara seakan menunggu kedatangan sebuah berkah. Gadis itu terlihat tak nyaman dengan kilatan-kilatan cahaya serta kerumunan orang disekitarnya. Ia terus menggenggam tangan lelaki itu untuk memberikannya kekuatan agar ia bisa melewati semua ini. Penjaga terus menjaga sepasang kekasih itu agar tak terjadi sesuatu yang tak disangka. Mereka terus merentangkan tangannya serta meneriaki beberapa perintah untuk memeringatkan mereka mundur. Tapi tampaknya usaha mereka hanya sia sia karena kerumunan pun tak kunjung mereda.

“are you okay Sash?” tanya lelaki itu menatap wajah sang gadis memastikan semuanya baik-baik saja. Lelaki itu masih menggenggam erat tangannya untuk tetap menjaga keseimbangan sang gadis yang terlihat ingin jatuh.

“aku tak apa Niall. Terima kasih kau sudah bertanya” jawab gadis itu sambil tersenyum menatap sang lelaki, kekasihnya untuk saat ini.

Tiba-tiba terdengar sebuah langkah kaki terburu-buru menuju tempat dimana mereka berada. “Kalian sudah datang! Kalian tak apa-apakan?” tanya lelaki itu yang baru saja datang. Wajahnya menyiratkan kalau ia tampak sangat khawatir.

“aku tak apa-apa kak. Untungnya Niall di sini selalu menjagaku” jawab Sasha, adik dari Liam Payne. Lelaki itu, Niall hanya membalasnya tersenyum sambil mengendikkan bahunya. “thanks bro. Kau selalu menjadi sahabat terbaikku” kata Liam yang dibalas senyum oleh lelaki blonde itu.

“okay. C’mon Niall. Lebih baik kita ke tempat perekaman sekarang agar kita bisa lebih cepat selesai” kata Liam sambil menggerakan tangannya, mengisyaratkan untuk mengikutinya. Kemudian sepasang kekasih itu mengikutinya tanpa melepaskan genggaman tangannya.

***

“I won’t let this little things slip out of my mouth. But if I do, it’s you. Oh it’s you they add up to...” nyanyian dari 5 orang lelaki berparas tampan bersuara malaikat membuat gadis itu terbuai. Hanya dengan mendengarkan suara mereka, ia dapat membayangkan sebuah ice cream vanila lembut meleleh dimulutnya. Serta merasakan ceri merah merona manis memanjakan lidahnya. Suara mereka begitu manis.

“a....aku ingin ke toilet sebentar. Bilang kepada yang lain” kata Sasha berbicara dengan Annie, sahabatnya. Gadis itu berdiri bersiap-siap mengambil ancang-ancang untuk berlari lantaran ia tak tahan lagi.

“aku temani  ya?” tanya Anne sembari berdiri dari duduknya untuk menemani sahabatnya yang satu itu.

“tidak tak usah, kau disini saja. Lagipula lebih baik kau menemani El disini dan menyaksikan Harry”

“oh kalau begitu yasudah” Annie mengendikkan bahunya sembari duduk kembali menyaksikan sang hampir-kekasihnya menunjukkan aksinya. Sasha langsung berlari kecil menuju toilet yang tak berada jauh dari tempat dimana lelaki tersebut merekam suara. Ia langsung menghembuskan nafas lega lantaran ia lega mengeluarkan segala yang ia tahan tadi. Setelah itu ia menuju wastafel untuk memperbaiki riasannya.

“hey kau!” seru sebuah suara diujung pintu. Sasha terperanjat kaget lantaran ia tak menyadari kalau ada orang di pintu sedari tadi.

“a...aku?”

“iya kau bodoh! Memangnya siapa lagi!” desis gadis itu sambil berjalan menghampiri Sasha. Suara langkah kaki yang berpakaikan high heels membuat Sasha takut kepada gadis itu. Selain wajah gadis itu yang memperlihatkan kedinginan seakan iya putri di kutub utara.

“a....ada apa?” tanya Sasha yang sedang ketakutan dan jarak ia dari gadis itu tak sampai satu meter. “aku mau kau jauh-jauh dari Louis” kata gadis itu dengan Sasha.

“me...memangnya ada apa El? Kenapa kau bisa berkata seperti itu?” tanya Sasha yang memberanikan diri untuk menjawab perkataan Eleanor yang hanya terdengar seperti sebuah bisikan.

“well, aku tau semua masa lalumu dengan Lou. Oleh karena itu aku minta kau jauh-jauh dengannya” peringat Eleanor lalu mendorong tubuh Sasha hingga menubruk tembok dibelakangnya. “atau kau akan merasakan akibatnya”

Eleanor menginjak kaki Sasha yang hanya beralaskan flat shoes dengan ujung high heelsnya. Sasha hanya bisa meringis kesakitan. Sementara itu, Eleanor beranjak pergi dari hadapan Sasha.

Sasha hanya terduduk diam bersandar ditembok melihat kakinya yang mulai berubah menjadi biru bekas terinjak tadi. Ia menangis, tapi ia tak mengakuinya. Ia tak mau dianggap lemah. Ia tak mau dianggap pengecut hanya lantaran ia digertak oleh gadis seperti Eleanor. Ia berusaha berdiri tegak walaupun terhuyung jatuh kembali. Ia berpegangan dengan tembok didepannya, berusaha berdiri menahan rasa sakit yang didera menyisakan rintihan kecil yang tak dapat ia tahan. Ia berusaha berjalan senormal mungkin menemui para boys           yang sedang beristirahat.

“aku mau pulang” kata Sasha setelah ia berhasil sampai dihadapan the boys dan the girls yang sedang berbincang-bincang. Dilihatnya Eleanor sedang tertawa dikarenakan lelucon yang dilontarkan oleh Louis. “aku baru ingat aku punya jadwal kuliah nanti”

“kenapa cepat sekali?padahal kau baru sampai sekitar sejam yang lalu” tanya Liam kepada adiknya terheran mengapa tiba-tiba ia bertingkah laku seperti ini.

“pokoknya aku mau pulang”

“kalau begitu ayo aku antarkan” kata Niall sembari berdiri mengambil kunci mobil milik-entah-siapa dan berancang-ancang mengambil jaketnya.

“tidak aku bisa pulang sendiri lagipula kau masih harus rekaman” kata Sasha beralasan agar ia dapat menyendiri tak ada yang menemani.

“ayolah aku tak akan membiarkan seorang gadis pulang sendiri” desak Niall menatap Sasha berusaha mencari ruang dibalik mata biru dingin itu.

“atau aku bisa mengantarkanmu pulang” kata Annie sembari berdiri melepaskan genggaman tangannya dari Harry. Harry tampak sedikit kesal karena Annie melepaskan genggamannya.

“tidak-tidak aku bisa pulang sendiri. Terima kasih atas tawarannya. Bye!” Sasha menghiraukan semua suara dibelakangnya yang memerintahkannya untuk tinggal dan menemaninya. Tetapi, ia mengabaikan itu dan langsung mengambil jaket yang ia bawa serta tasnya dan beranjak pergi.

Setelah ia berada di luar gedung, ia tak kuasa menahan air matanya yang turun tanpa diperintahkan dan langsung di usap dengan kasar. Ia menunduk sambil menantikan sebuah taxi yang tak kunjung datang. Ia memutuskan untuk berjalan menuju pemberhentian bus agar ia dapat sesegera mungkin tiba dirumahnya.

Tak disangka tiba-tiba hujan turun dengan derasnya yang tak kuasa membuat sekujur badannya basah. Sambil berlari terseok-seok menahan sakit yang didera kakinya, ia menatap langit yang berubah menjadi hitam kelam seakan langit ikut bersimpati dengannya.

Sebuah batu yang cukup besar dan tak diperhatikan olehnya yang tengah menatap langit kelam diatas sana, tak sengaja tersandung oleh gadis itu, langsung jatuh tersungkur dengan wajah mencium aspal. Ia berbaring disana sekejap tak memedulikan betapa basah dan kedinginannya ia.

Kemudian ia berusaha duduk dengan wajah tertunduk, menahan nafas sesak yang ia rasa dikarenakan amarah, kesedihan teraduk menjadi satu. Lalu ia menengadahkan wajahnya ke langit. Merasakan butiran-butiran air yang jatuh di wajahnya. Berusaha menyatu dengan mereka.

“COULD BE THIS LIFE  MORE IRONIC?” she shout...

Ironic [On Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang