Menu 8: First Night

75.2K 4.9K 77
                                    

Kudenguskan napasku dengan kesal. Aku sangat tersinggung karena daritadi Dewa terkesan menghindari sentuhanku. Bahkan saat aku tidak sengaja memegang tangannya atau menyentuh lengannya, ia akan langsung berdecak tidak suka dan menghindar.

Kami sedang menuju rumah Dewa, aku belum pernah tahu rumahnya dimana tapi ia bilang letaknya tidak jauh dari Gold Feather.

Sepanjang perjalanan aku lebih banyak melihat keluar jendela, tidak kupedulikan buah jeruk yang sekarang sudah jatuh berserakan di jok belakang-aku berhasil memaksa Dewa untuk mampir di supermarket sebentar untuk membeli buah dan bahan untuk chicken soup, dia mengaku tidak menyetok apa-apa selain makanan instan.

"Lho rumah kamu di Green Garden?", tanyaku setengah tidak percaya.

"Kenapa?", Nada suaranya masih datar, tapi ia menaikkan kedua alisnya.

"Nggak, aku sering main kesini, perumahannya besar sih ya, aku nggak pernah liat kamu", Jawabku cepat.

"Aku jarang dirumah, jarang keluar juga", respon Dewa tidak tertarik.

"Emang rumah kamu dijalan apa?"

Dewa tidak langsung menjawab, ia membelokkan mobil dan sedikit melambat karena banyak anak kecil yang bermain.

"Jalan meranti", Dewa terbatuk kecil.

Dapat kulihat dengan jelas plang kecil berwarna hijau bertuliskan 'Jl.Meranti' sebelum kami berbelok masuk. Semua rumah di blok ini terlihat sama, bertingkat dua dan bergaya minimalis tanpa pagar.

Mobil Dewa berbelok pada rumah dengan cat krem lembut dan tumbuhan morning glory yang melilit anggun didinding depan rumah, bunganya yang berwarna ungu mengantung lucu disana-sini, harus kuakui rumah Dewa tidak membosankan seperti kebanyakan rumah diblok tempat ia tinggal.

"Nomor 53", Ujar Dewa menunjuk nomor rumah disebelah pintunya.

Kami baru saja turun saat Dewa mulai batuk dan bersin tanpa henti. Kali ini kuberanikan mengusap punggungnya pelan, aku tahu ia memberikanku tatapan tidak suka, tapi aku tidak peduli.

Sebenarnya aku lebih tertarik untuk mengamati rumah Dewa, aku tidak menyangka ia memiliki rumah yang sangat nyaman. Sungguh, rasanya aku tidak akan keberatan menghabiskan waktu berlama-lama dirumah Dewa. Kupikir rumahnya akan sama membosankannya seperti kantornya di Gold Feather, ternyata aku salah. Aku berani jamin, dalam sekali lirik orang akan setuju kalau rumah Dewa terkesan adem, mengundang untuk bertamu.

Perhatianku teralih karena Dewa mulai bersin dan batuk lagi, kali ini ia tidak repot-repot untuk berdeham. Ia hanya menggosok hidungnya dengan kasar dan mengambil belanjaan di jok belakang.

"Let me", aku mengambil kresek belanjaan dengan paksa dari tangannya.

Dewa tidak memprotes sama sekali, ia langsung membuka kunci pintu dan menggedikkan kepalanya menyuruhku masuk.

Tanpa menunggu persetujuannya aku langsung menaruh semua belanjaan diatas meja ruang tamu. Kulihat Dewa juga langsung duduk disofa, tangannya memijit-mijit keningnya sendiri.

"Pusing?, badan kamu tambah panas", Telapak tanganku sudah mampir dikening Dewa.

Tangan Dewa terangkat, ia meraih tanganku yang masih dikeningnya. Aku sedikit kecewa saat Dewa menyingkirkan tanganku dengan cepat.

"Stop touching me like that", Dewa mengatakannya dengan sangat jelas.

"What?, why??", tanyaku sedikit terkejut, aku tidak bisa menyembunyikan rasa sakit hati.

"Taro aja didapur, ayo aku tunjukin", Dewa langsung berjalan tanpa menunggu responku.

Aku sudah terbiasa jika ia tidak menjawab pertanyaanku, tapi tidak diperbolehkan menyentuh merupakan hal yang baru. Dan aku tidak merasa nyaman sama sekali.

Sweet BlackoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang