Menu 15: Game On

55K 4.1K 45
                                    

Hatiku berdesir setiap melihat kunci serep yang Dewa berikan padaku minggu kemarin. Ia berbohong saat bilang menyuruhku untuk menginap dirumahnya.

Dewa mengantarku kerumah pagi-pagi buta, dan entah kenapa ia malah memberikan kunci itu padaku, tidak ada kalimatnya yang ia ucapkan hanya sebuah ciuman panjang yang kami bagi cukup lama-seingatku ciuman tidak termasuk ucapan kan?.

Pipiku terasa panas kalau mengingat malam itu, ia menciumku seperti telah tidak bertemu denganku dalam kurun waktu yang lama, aku hanya membalas pagutannya pasif karena ia sangat mendominasi.

Kupandangi lagi kunci itu dengan wajah merona, jika ia memberikannya, itu berarti aku bisa main kerumahnya kapan saja kan?, hari ini aku off, begitu pun Dewa.

Dengan senyuman lebar kuganti kaus pokemon lusuhku dengan backless jumpsuit keluaran forever 21 musim panas lalu dan kusambar jaket jeans Dewa.

Mungkin Dewa akan menyesal telah memberikan kunci rumahnya padaku.

****************************

Seperti anak kecil yang melihat tokoh pahlawan kesayangannya, aku memekik girang melihat sofa ruang tivi rumah Dewa.

Diluar panas sekali, rasanya seperti membuka oven pada suhu 350°C. Aku langsung merasa lega saat masuk kedalam rumah Dewa yang berpendingin ruangan.

Mataku menyisir seluruh ruangan ini, udaranya masih sebersih yang kuingat, harus kuakui rumah Dewa memiliki sistem sirkulasi udara dan penerangan yang bagus.

Baru saja ingin kuraih remote tivi saat kudengar langkah berat dari arah tangga.

Dewa turun dengan hanya memakai celana training, rambutnya masih meneteskan air, handuk masih menggantung dilehernya dan ia minum air putih dingin langsung dari botolnya.

Matanya sedikit memicing saat melihat aku yang sudah duduk disofa.

Aku tidak bisa mengabaikan air yang turun dari bibirnya, turun menuju leher dan menghilang didada bidangnya saat Dewa menghentikan kegiatan minumnya itu.

"Ngapain?", tanyanya dingin.

"Uhm..Main", jawabku tersenyum canggung.

"Perasaan pintu depan aku kunci tadi"

Kali ini aku tidak menjawab pertanyaannya. Kuraih kunci itu dari kantong jaket jeans dan menunjukkan itu padanya.

Dewa langsung menghela napas panjang. Aku tahu ia tidak menyukai kedatangan tiba-tibaku ini.

"Kenapa nggak bilang dulu?", tanyanya lagi.

"Kan ceritanya surprise Dewa", kilahku gugup.

"Aku bukan remaja umur 18 tahun Maia, aku nggak butuh surprise", jelasnya dengan nada kesal.

Aku tahu apa yang ia berusaha bicarakan, aku sudah bisa menarik konklusinya sejak tadi.

"Oke, lain aku bakal bilang dan nggak akan seenaknya lagi", semoga saja Dewa bisa mendengar ucapanku yang terlampau pelan itu.

"Thats should do it, bukan berarti aku nggak suka kamu disini, tapi aku lebih suka kalau kamu kabarin aku lenih dulu", Dewa melempar handuknya ke kursi ottoman disebelahku.

"Aku ganggu kamu ya?", tanyaku ragu.

"Iya", jawabnya cepat.

Keningku terasa berkedut karena kesal, mood Dewa benar-benar buruk.

"Mau ngapain ih??", tanyaku kesal.

"Tidur, kamu kan berisik", ucapnya datar.

Harusnya ia bisa berpikir jernih sebelum menyetujui tawaran perjodohan Papi jika ia pikir aku terlalu berisik.

Sweet BlackoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang