Akhirnya kami memutuskan untuk menginap semalam dirumah Tama. Dewa masih menolak untuk bercerita padaku tentang percakapannya dengan adiknya itu.
Ia hanya menegaskan akan mengajakku ketempat istimewa jika waktunya tepat nanti. Aku tahu ia terluka akan sesuatu tapi enggan berbagi padaku.
Hanya pelukannya yang makin erat saat kami tidur. Aku sedikit kaget, ia sempat marah hanya karena aku tidak ada disampingnya saat ia terbangun-aku pergi ketoilet waktu itu. Entah hanya perasaanku saja atau bukan, tapi Dewa jadi lebih manja dari biasanya.
Diluar dugaan, Dewa sangat menyayangi Marissa. Ia tetap diam dan tidak banyak berbicara, tapi Dewa selalu membelikan semua hal yang keponakannya itu pinta tanpa pikir panjang.
Dalam rentang satu hari, Marissa sudah memiliki sepasang sepatu roda baru, tenda bergambar princess favoritnya, dan boneka teddy terbesar yang pernah aku lihat.
Jika aku boleh beranalisa, Dewa sepertinya sangat menyukai anak kecil. Tidak jarang kutangkap ia tersenyum tipis hanya karena melihat Marissa bermain berkeliling halaman belakang. Kalian pasti tahu Dewa adalah orang yang pelit senyum, apalagi ketika didapur, mustahil bagi kami untuk melihat ia tidak serius.
Hampir-hampir airmataku meleleh saat kami ingin pulang. Marissa memeluk Dewa sangat erat dan terus menangis karena uncle yang baru saja ia temui sehari itu sudah harus pergi.
Seperti biasa, Dewa hanya diam dan tidak bisa mencari kalimat yang tepat. Tapi ia berjanji untuk sering-sering menengok Marissa jika waktunya memungkinkan.
Senyuman manis Marissa terkembang saat Dewa memberikan kecupan kecil dipipi gembilnya itu. Ia bahkan memberikan kami bekal dua bar snickers dari tempat persembunyian permennya.
Mungkin Marissa adalah satu-satunya perempuan selain diriku yang bisa membuat Dewa merasa bebas untuk tersenyum dan takut untuk dibenci.
************************
Ini hari ketiga Dewa demam tinggi, dan ia bersikeras untuk terus berangkat kerja. Bukan hanya aku yang mulai cerewet, Erwin pun sudah beberapa kali menasehati Dewa agar mau beristirahat barang satu atau dua hari.
Dan Dewa tetap teguh pada pendiriannya. Jadi kunisbahkan pada diriku sendiri untuk mengontrol jadwal makan dan minum obatnya menjadi tanggung jawabku sekarang.
Setelah kunjungan kami dari rumah Tama, ia jadi lebih pendiam. Tidak jarang ia mengkerutkan keningnya tanpa alasan yang jelas, semingguan terakhir ini aku lebih seperti bermonolog, ia hanya merespon pertanyaanku jika ia rasa perlu.
Meskipun ia jadi jarang bicara tapi Dewa sangat manja padaku. Ia bisa marah kalau aku lupa memeluk atau menciumnya saat ia mengantarku pulang. Sebelumnya ia bersikap acuh terhadap hal-hal kecil seperti ini.
Ia juga selalu paling anti untuk disuapi, tapi sekarang ia lebih sering meminta sendiri untuk kusuapi. Ralat, bukan sering tapi hampir setiap makan.
Sebenarnya aku senang-senang saja ia bersikap seperti itu padaku, tapi tentu ada alasan besar dibalik perubahan sikapnya. Dan aku masih belum bisa menerka apa, jika hanya tentang Marissa kurasa ia malah senang mengetahui sudah mempunyai keponakan, artinya ia punya keluarga lagi selain Tama dan kedua orangtuanya. Tidak mungkin alasan ia berubah sikap hanya karena gadis manis berambut ikal itu.
Dan puncaknya sejak ia sakit demam aku dan Dino sudah menginap dirumah Dewa. Dino sangat senang, karena Dewa mempunyai game pc dengan spek yang mumpuni.
Sementara aku lebih banyak mengurus Dewa dari ia bangun sampai tidur. Aku tidak mau berbohong, meskipun aku senang melakukannya, tapi aku sangat capek. Bekerja di Gold Feather sangat menyita waktu dan tenaga, sementara pikiranku masih harus teralih antara pesanan yang masuk dan kesehatan Dewa sendiri. Jika boleh jujur, minggu ini amat sangat melelahkan bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Blackout
ChickLitMaia Herra, Food blogger terkenal, terpaksa harus mengikuti keinginan Papinya untuk bekerja di Restoran terkenal milik teman ayahnya, Head Chef yang sangat galak. Dewa santoso, Head Chef sekaligus pemilik restoran Gold Feather, tidak pernah percaya...