Kami benar-benar berbaring kelelahan sekarang, rok berbahan tilleku hampir menutupi kasur kami berdua. Dewa sendiri sudah bertelanjang dada dan hanya memakai celana panjangnya."Kamu nggak cerita kalau kamu tau Tama itu vokalis Stripe Noodle!", ujarku kesal.
"Itu juga aku nggak sengaja, niatnya mau kasih surprise untuk kamu nggak taunya Tama vokalisnya, itu pertama kali aku ketemu dia juga sih. Kita sama-sama kaget waktu itu", jelas Dewa sembari membantuku membuka kado.
Sebenarnya kami menerima banyak sekali hadiah, tapi hanya kubawa hadiah dari Audrey karena ia memaksa. Maksudku cottage yang kami tinggali kan sangat kecil.
"Kamu capek ya?" Tanyaku sambil mengusap pipi Dewa.
Mata Dewa kembali terfokus padaku, ia tersenyum kecil lalu mengelus tanganku yang masih mampir dipipinya.
"Nggak, aku seneng." Jawab Dewa.
Secara tiba-tiba Dewa bangun, ia menaikkan jari telunjuknya, memberi isyarat padaku agar mengamati gerak-geriknya. Dengan sangat hati-hati ia berdiri diatas lututnya, menarik satu tuas yang ada disamping tempat tidur kami. Suara berkerit yang cukup keras membuatku kaget dan buru-buru memegang lengan Dewa, ia sendiri hanya tertawa kecil melihat reaksiku itu.
Mataku sudah sepenuhnya membesar saat Dewa selesai menarik tuas itu dengan sempurna, ternyata tuas itu membuka jendela yang ada tepat diatas tempat tidur kami. Persis seperti kamar tidurku saat aku masih kecil dulu.
Baru kali ini aku kesulitan mencari kata-kata, Dewa ternyata ingat kalau aku sangat suka memandangi langit malam, lagi-lagi ia benar-benar memikirkan semuanya dengan sangat mendetil, ia benar-benar membuatku seperti ratu dalam sehari.
"Aku seneng Dewa.." Aku yakin suaraku lebih terdengar seperti bisikan.
Mungkin ada setitik airmata yang turun dari mataku-yang dengan segera Dewa usap. Ia masih tersenyum kecil saat melakukan itu.
"Mau lakuin dari awal?" Tanya Dewa tiba-tiba.
"Dari..Awal?" Jujur aku bingung.
Dewa kini duduk tepat didepanku lalu mengulurkan tangannya kearahku dengan cara seperti ingin berjabat tangan dengan formal.
"Nama aku Dewa Santoso, Sekarang kerja di Gold Feather, Headchef." Ujarnya dengan senyuman lebar.
Sekarang aku mengerti, kami tidak pernah benar-benar berkenalan secara formal seperti ini, kami mengenal satu sama lain dari puzzle-puzzle kecil yang kami susun dan pungut dari kehidupan kami sehari-hari selama beberapa bulan terakhir.
Maka dengan semangat kujabat tangan Dewa erat-erat, hal itu membuat senyumannya makin lebar.
"Maia Herra-Err, sekarang udah jadi Maia Santoso sih, tapi panggil aja Maia, food blogger, tapi sekarang udah kerja di Gold Feather, line chef."
"Udah segitu aja?" Ucapan Dewa lebih terdengar seperti ejekan, wah dia menantang.
"Anaknya Papi Hari sama Mami Dian, Kakek aku-Ayah Papi, Asli Brooklyn, kalo nenek sih orang Garut, tapi muka Papi lebih banyak Garutnya dari pada Brooklynnya." Tandasku tertawa geli.
"Wah bangga banget ya kamu?" Kali ini Dewa juga ikut tertawa.
"Kamu dong kamu!"
"Papa aku orang Bogor, Mama asli Cirebon, nggak ada turunan mana-mana."
"Kok anaknya bisa galak gini?" Tanyaku asal setengah menyindir.
"Apa hubungannya?" Dewa terkekeh pelan saat menjawab pertanyaan ngawurku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Blackout
Romanzi rosa / ChickLitMaia Herra, Food blogger terkenal, terpaksa harus mengikuti keinginan Papinya untuk bekerja di Restoran terkenal milik teman ayahnya, Head Chef yang sangat galak. Dewa santoso, Head Chef sekaligus pemilik restoran Gold Feather, tidak pernah percaya...