Entah sudah berapa kali aku berdecak kesal, baru kusadari mencari inovasi resep baru sangatlah sulit. Aku jadi ragu bisa menyerahkan konsep resepnya pada Dewa akhir minggu ini, waktuku tinggal dua hari dan sampai detik ini belum ada ide yang muncul diotakku sama sekali
Sudah kubaca semua buku tentang dessert diperpustakaan kotaku, bahkan rasanya mataku juling karena terlalu lama berselancar diinternet dengan rasa frustasi.
Flu ringan yang kualami sangat terasa menyiksa disaat genting seperti ini, ada saat-saat aku ingin menyerah, tapi untungnya-atau sialnya?, aku terlalu keras kepala untuk menyerah, tidak pada Nisha.
Tanpa sadar aku telah menggigit keras lolipop yang kukulum hingga menimbulkan suara yang mengganggu.
Dewa mendelik tajam padaku, ia kelihatan tidak menyukai perbuatanku tadi. Lagipula sekarang sudah hampir tutup, aku hanya perlu menyelesaikan beberapa cucian loyang dan mengelap spatula-spatula.
Saat jam pulang aku lebih banyak diam dan melamun, kupakai masker dan sweaterku dengan cepat. Yang kutahu moodku benar-benar buruk saat ini.
Sebetulnya aku lebih kecewa pada diriku sendiri yang malah ingin menyerah dijam-jam krusial, aku benci ternyata aku hanya bisa menyombongkan diri tanpa bisa melakukan apapun, aku mulai berpikir jangan-jangan aku tidak ada bedanya dengan Nisha.
Badanku langsung bergidik saat membayangkan itu.
Kulangkahkan kakiku malas, angin malam menyibak rambut panjang yang sengaja kugerai. Aku menengok saat merasakan ada tangan yang mampir dipuncak kepalaku.
"Aku anter pulang", ujarnya pelan.
Tenggorokanku terasa sakit jadi aku hanya mengangguk dan mengikuti Dewa dari belakang. Mungkin badanku sudah sedikit panas sekarang, aku tidak tahu pasti.
Saat masuk mobil Dewa langsung menyentuh keningku, mukanya terlihat khawatir saat aku mulai batuk dan bersin tanpa henti.
"Udah minum obat?", tanyanya lagi.
Kugelengkan kepalaku lemah, badanku merosot dijok mobil dan sekarang sudah meringkuk kedinginan. Sakitku ini hasil dari begadang beberapa hari terakhir, aku baru sadar kepalaku terasa pening luar biasa.
Dewa mengatur posisi jokku dan menyelimutiku dengan jaketnya, entah kenapa aku jadi merasa bersalah.
Harusnya aku mendengar ucapannya saat itu bahwa aku tidak perlu mengikuti kompetisi ini.
Harusnya aku tidak sebodoh itu hingga dapat masuk kedalam jebakan Nisha dengan mudah.
Harusnya aku menurut pada Dewa sejak awal.
Perutku terasa mual dan kepalaku seperti berputar, air mata mulai terkumpul dipelupuk mataku tanpa bisa kukontrol. Aku kesal luar biasa.
Kuhapus air mataku dengan cepat, tapi itu sia-sia karena air mataku tidak dapat berhenti mengalir.
Mungkin aku tidak lebih dari gadis menyebalkan yang sok tahu dan dibenci orang karena memiliki peruntungan yang bagus. Aku takut imajinasiku itu benar.
"Dewa..", panggilku dengan suara parau.
"Kenapa?", tanyanya lembut, ia memelankan laju mobilnya dan menoleh padaku.
"Maaf..", ujarku dengan suara tercekat.
Tangannya kini sudah mengusap lenganku pelan, "Jangan..Istirahat, nanti kalau udah sampai aku bangunin"
Aku tidak membantah sama sekali, aku hanya ingin menurut padanya tanpa harus bertanya apapun.
Kupejamkan mataku dan kupeluk jaketnya erat-erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Blackout
Literatura FemininaMaia Herra, Food blogger terkenal, terpaksa harus mengikuti keinginan Papinya untuk bekerja di Restoran terkenal milik teman ayahnya, Head Chef yang sangat galak. Dewa santoso, Head Chef sekaligus pemilik restoran Gold Feather, tidak pernah percaya...