"Ya nggak bisa dong Dewa, kan konsepnya udah jelas, nanti bisa-bisa Papi marah", aku bersumpah aku masih mencoba untuk tetap tenang.
"Ya tapi kenapa nggak dikomunikasiin sama aku dulu, kan yang mau jadi suami kamu itu aku bukan siapa-siapa", respon Dewa dingin.
Kututupi mukaku karena frustasi. Semakin dekat dengan hari pernikahan, kami malah jadi sering bertengkar, kali ini masalah undangan. Aku pikir tidak ada salahnya membiarkan Papi ikut andil memilih desain undangannya toh sesuai dengan tema outdoor disungai yang telah kami pilih.
"Kita bahas ini nanti deh, pusing aku"
"Kapan?, waktu kita mepet!", Dewa mendelik tajam padaku.
"Ya makanya jangan dibikin ribet Dewa, apa salahnya sih"
"Pokoknya aku nggak sreg, kamu lagi, belum apa-apa udah nggak mau dengerin aku"
Emosi terasa dipuncak kepalaku, kukepalkan tangan keras-keras menahan kesal. Sepelan mungkin kuganti posisi dudukku untuk mengulur waktu.
"Dewa, iya, betul kita yang bakal jadi suami istri entar..Tapi, yang namanya pernikahan, bukan kita aja yang terikat, keluarga kita juga, orang tua aku jadi orang tua kamu, adik kamu ya adik aku, adik aku berarti adik kamu, hargain pendapat mereka dong, jangan egois", jelasku sedikit tidak sabar.
Tangan Dewa mencengkeram Setir mobil kuat-kuat, ia menggertakkan rahangnya tidak suka. Aku benci jika ia sudah mulai bersikap seperti ini.
"Nanti aku coba omongin sama Papi, tapi aku nggak mau janjiin apa-apa", mungkin aku harus mengalah sedikit.
"Tinggal bilang gitu daritadi kan beres, aku capek seharian kerja, sebenernya nggak mau debat masalah begini", tandasnya dingin.
Langsung kutatap ia lekat-lekat, memangnya dia pikir aku seharian tidak kerja?, aku sama lelahnya seperti dia. Jika dia ingin berdebat aku akan ladeni.
"Aku juga kerja Dewa!, kamu pikir aku ngapain?, aku lebih capek lagi harus ngurusin sikap kamu yang kayak gini!", sergahku kesal.
"Aku kan cuma minta kalau ada apa-apa komunikasiin sama aku dulu!, itu permintaan normal Maia, wajar!", kali ini ia menaikkan nada suaranya.
"Terserah kamu deh!, kamu mintanya aku nurut sama kamu, tapi kamu sendiri jarang dengerin saran aku!", kulipat tanganku didepan dada.
Dewa menginjak rem kuat-kuat hingga keningku hampir menabrak kaca mobil. Sialan, mau dia apa sih.
"Apaan sih?!", seruku lantang.
"Udah sana turun!", baru kali ini Dewa menyuruhku untuk keluar dari mobilnya dengan kasar.
"Emang udah nyampe juga!, makasih udah nganterin!!", ejekku sarkastik.
"Besok aku nggak jemput!", serunya dari dalam mobil.
Aku berjalan cepat menuju halaman rumah dengan sisa kesadaran terakhir aku berteriak kuat-kuat, "Bodo amat!!"
*********************
Kami sepakat untuk menikah diminggu ketiga bulan oktober, itu artinya kami hanya punya waktu kurang dari sebulan. Dan itu membuat kami sama-sama panik, mau tidak mau hal itu sedikit mengganggu ritme kerjaku, meskipun tidak sampai parah.Tapi setiap pulang kerumah aku jadi lebih lelah dari biasanya. Masalah undangan sudah selesai, kami memilih undangan yang dibingkai frame kayu dengan ukiran bunga cantik. Untung bagiku karena Papi dan Dewa setuju juga pada akhirnya.
Sekarang tinggal masalah gaun yang akan kukenakan nanti, kali kini giliran Papi dan Mami yang berbeda pendapat. Kupikir setelah merampungkan seluruh perencanaan upacara pernikahan, makanan dan sebagainya aku sudah bisa bernapas lega, masih ada saja yang ketinggalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Blackout
Literatura FemininaMaia Herra, Food blogger terkenal, terpaksa harus mengikuti keinginan Papinya untuk bekerja di Restoran terkenal milik teman ayahnya, Head Chef yang sangat galak. Dewa santoso, Head Chef sekaligus pemilik restoran Gold Feather, tidak pernah percaya...