Semenjak hari itu, Dewa jadi sering menjenguk Papi dan itu membuatku mau tidak mau lebih sering mengobrol dengan dia. Dewa selalu datang membawa beberapa dessert untuk mami ataupun Dino.
Seperti sekarang, ia sedang duduk didepan ruangan Papi dan bersiap akan pulang, mami memaksaku untuk menemani si sengak itu. Mukanya masih sedatar yang aku ingat, ia tidak repot-repot berbasa-basi denganku apalagi menyunggingkan sedikit senyum.
"You arent fancy in small talk aren't you?" Tanyaku tiba-tiba.
"Berteriak terus didapur cukup bikin capek." Jawab Dewa singkat.
Ucapannya itu membuat mukaku makin masam. Aku menyesal bertanya padanya tadi, dalam diam kuikuti langkahnya dari belakang. Ia hanya sesekali menengok kebelakang padaku lalu bergumam tidak jelas, pasti bukan hal yang menyenangkan aku pikir.
"Aku mau beli kue dulu, mau temenin?" Ucap Dewa.
"Hah? Ngapain beli kue kan ditempat kamu banyak." Jawabku bingung.
"I love that sounds you make when you shut the hell up."
Dewa mengucapkannya seakan-akan itu tidak akan menyakiti perasaanku sama sekali. Suaranya amat mengintimidasi, jujur meskipun aku kesal, aku sedikit takut untuk melihat mukanya saat ini. Lagipula ia hanya ingin mengajakku beli kue kan? Pasti tempatnya spesial. Karena sepanjang yang aku semua kue buatan Dewa sangat enak, pasti ia punya alasan untuk membelinya ditempat lain.
Tanpa banyak bicara aku masuk kedalam mobil Dewa. Aku menolak melihat kearahnya karena masih kesal dengan ucapannya tadi, Dewa pun kelihatannya acuh dengan sikapku saat ini. Kami berhenti dilampu merah saat ada pengamen yang mendekat ke arah kami, seperti yang sudah kuduga, Dewa lebih tertarik nemandangi mobil didepan kami daripada meladeni pengamen itu.
"Maaf dek, maaf ya." Jawabku tidak enak.
Dewa melirik padaku dengan wajah tidak suka, kali ini kuberanikan membalas tatapannya tanpa menunduk sendikitpun.
"That's unnecessary." Desisnya.
"Bagi kamu, aku cuma bersikap sopan." Jawabku tidak kalah menekan.
Ia tidak menjawab, tapi menginjak pedal gas dengan sedikit kasar sampai aku hampir terlonjak maju. Sungguh aku tidak mengerti sama sekali jalan pikiran orang ini, dengan malas kututup mataku karena tidak ada hal yang lebih menyenangkan lagi, Dewa pun kelihatannya tidak akan membuka pembicaraan.
Mobil Dewa berbelok disebuah toko kue kecil dipinggir jalan, terlihat jelas papan bertuliskan 'tutup' didepan pintunya. Kukerlingkan mataku padanya, untuk apa ia datang kalau tokoknya sudah tutup, aku pikir ia cukup pintar untuk sekedar mengingat jam buka sebuah toko.
"No whining, no protest, just follow me.." Ucap Dewa seakan membaca pikiranku.
Dewa masih mengetuk pintu itu dengan pelan, dan hanya berhenti untuk menggulung kemeja warna hitam yang ia kenakan. Kami menunggu cukup lama sampai akhirnya seorang ibu tua dengan rambut putih membukakan pintu.
"Dewa? Nggak bilang-bilang dulu mau main?" Kelihatannya ibu ini mengenal akrab Dewa.
"Iya maaf, tadi kebetulan lewat jadi mampir, ganggu nggak ya?" Aku kaget sekali, karena Dewa tersenyum lembut pada ibu itu.
"Waduh, sama siapa ini? Udah punya istri kok nggak ngundang waktu nikahannya?"
"Bukan, bukan, dia karyawan di restoran saya, bukan istri.." Dewa menjelaskan itu dengan amat datar sementara wajahku sudah merah padam.
"Ayo masuk, diluar banyak angin."
"Bapak ada bu?"
"Ada, nanti ibu panggil, duduk aja dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Blackout
ChickLitMaia Herra, Food blogger terkenal, terpaksa harus mengikuti keinginan Papinya untuk bekerja di Restoran terkenal milik teman ayahnya, Head Chef yang sangat galak. Dewa santoso, Head Chef sekaligus pemilik restoran Gold Feather, tidak pernah percaya...