Home • Enam Belas
Aku terbangun ketika aku merasakan sebuah tangan mengelus rambutku. Louis? Aku masih memejamkan mataku, berpura-pura masih tertidur.
"Liv, maafin gue,"
"Gue udah nyakitin lo, gue baru sadar kalo selama ini yang gue cari itu ada di hadapan gue,"
"Gue sayang sama lo,"
Aku sedih dan senang di saat yang bersamaan.
Senang karena rasaku terbalaskan. Itu sangat melegakan.
Tapi sedih karena aku tahu aku menyakiti hati Luke. Aku belum memberinya kepastian. Aku bahkan tidak menjawab pertanyaannya yang kemarin.
Luke? Luke? Dimana dia?
Sontak aku membuka kedua mataku, dan mendongak. Louis tersenyum padaku, "Eh, udah bangun?"
"I-iya, Luke? Luke mana, Lou?"
Dia hanya menggeleng lemas, "Gue gak tau," raut wajahnya terlihat tidak senang.
"Lo udah baikan?" tanyaku, memegang sisi wajahnya, cemas.
"I-iya, tapi kepala gue rasanya mau pecah, badan gue juga rasanya ancur semua," ucapnya, lalu terkekeh.
"Aw, sakit ya kalo ketawa," ujar Louis, memegang bagian perutnya.
Aku ikut terkekeh, "Siapa suruh,"
"Balik gih, Liv,"
Aku menggeleng cepat, "Gak, gue mau temenin lo disini,"
"Lo nggak sekolah?" tanyanya.
"Kemaren gue udah minta izin ke sekolah, dan boleh, mereka juga tau kok tentang lo,"
"Lagian gue lebih milih nemenin lo seharian daripada gue berkutat sama kalkulus,"
"Dasar ya lo," ucap Louis.
"Emang keluarga gue kemana? Mereka tau kan?" tanyanya, aku bisa mendengar sedikit kekecewaan di suaranya.
"I-iya, gue udah kabarin mereka, tapi mereka belom dateng,"
Aku segera meyakinkan Louis, dan memegang tangannya, "Gak apa-apa, ada gue,"
Dia tersenyum lemas, "Makasih ya, Liv,"
Louis mencoba bangkit dari kasurnya, "Lo mau ngapain?"
Dia menangkupkan tangannya di sisi wajahku, sekarang posisinya sejajar dengan posisiku.
"Kalo gue pergi, gimana?" tanyanya tiba-tiba.
Aku membelalakkan mataku, "Kok lo ngomongnya gitu, sih? Lo gak boleh ngomong gitu, Lou!"
Dia tertawa kecil, "Gue takut, Liv,"
Aku menggelengkan kepalaku, "Nggak, gue tau lo pasti bakal baik-baik aja, buktinya sekarang lo masih bisa ketawa kan?"
"Liv, gue boleh cium lo?"
Tubuhku menegang seketika. Dia ingin menciumku? Lagi? Ini berarti kedua kalinya.
Tanpa persetujuanku, Louis menarik leherku, dan menciumku. Aku tidak keberatan, tentu saja. Dia menarik tubuhku lebih dekat dengannya, merengkuhku, memelukku.
Aku malah menangis dalam ciumannya. Entah kenapa ini terasa sakit, cara dia menciumku. Rasanya ganjal, seperti dia kehabisan waktu. Seperti ini adalah saat terakhirnya.
Aku membalas ciumannya, dengan semua rasa yang kupunya untuknya.
Aku melakukannya dengan sangat hati-hati, aku tahu pasti dia kesakitan sekarang.
Dia menjauhkan bibirnya dari bibirku, "Ma-maaf,"
Aku berusaha terdengar baik-baik saja, "Gue.. Gue juga,"
Dia menyadari kalau cairan bening itu keluar lagi dari kedua mataku, "Hey... Kok nangis?"
Lalu dia mengusap air mataku, "Sorry, I just..."
Dia memelukku lagi, "Iya, iya, gak apa-apa,"
Aku membalas pelukannya, oh betapa aku merindukan pelukannya. Pelukan hangat yang diam-diam selalu aku rindukan setiap harinya.
Pelukan yang selalu berhasil membuatku nyaman.
Dia mengelus rambutku dan mencium sisi kepalaku, "Pulang Liv, pulang,"
Pulang kemana? Kamu adalah rumahku.
Dia membaringkan lagi tubuhnya di kasur.
"Gue mau terus temenin lo,"
Dia menggeleng, "Gue tau lo pasti capek, udah, gue gak apa-apa nyet,"
Kondisi fisiknya yang kulihat sekarang berbanding terbalik dengan ucapannya. Dia terlihat pucat, dengan memar-memar di wajahnya. Meskipun begitu, dia tetap terlihat tampan, seperti biasanya.
Mata indah itu sekarang sayu, senyum lebar yang biasa kulihat sekarang tidak selebar itu lagi. Dengan perban yang membalut kepalanya, dan infus yang tertempel dengan sempurna di tangannya.
Dia sama sekali tidak baik-baik saja.
Menyakitkan melihat dia seperti ini, seperti sekarang.
"Lo, lo gak apa-apa gue tinggal?" tanyaku, memastikan.
"Yeah," dia menggeleng lemas.
Ya, memang aku juga capek. Badanku terasa pegal seharian tertidur dengan posisi duduk. Mandi sebentar tidak ada salahnya, kan?
"Kalau gitu, gue pulang, ya?"
"Iyaa, udah sono!"
"Dih,"
Aku mencium kening Louis, dia tidak keberatan karena kulihat dia memejamkan matanya.
"I'll see you soon, Louis,"
Dengan itu, aku keluar dari ruangannya dan memutuskan untuk pulang sebentar.