21

2K 350 50
                                    

Home • Dua Puluh Satu

It's been 3 hours.

"Maaf, tapi saya belum bisa mengizinkan siapapun untuk menjenguk pasien sekarang, karena kami masih memberikan perawatan intensif untuk pasien," ujar Dokter yang menangani Louis kepada Johannah.

Walaupun jarakku sekitar 3 meter dari mereka, aku masih bisa mendengar perbincangan mereka. Dan tentu saja itu menyayat hatiku. Aku ingin, sangat ingin, bertemu Louis.

Louis. Louis. Louis.

Hanya Louis yang ada di pikiranku saat ini.

Ya Tuhan, tolong selamatkan Louis, aku tidak ingin apapun terjadi padanya. Tolong.

Aku tidak peduli bagaimana penampilanku saat ini. Kemeja yang kukenakan sudah kusut, rambutku berantakan, mataku sembab, tubuhku lemas, aku kacau.

Air mata tidak berhenti mengalir dari kedua mataku, membuat pipiku basah sedari tadi. Ini sudah 3 jam, dan Louis sudah berada di ruangan itu entah berapa lama.

Semuanya masih menunggu disini, orang tua Louis, Mama, Aku, dan Megan. Ternyata gadis itu sama cemasnya dengan aku sekarang.

Aku tidak ingin pergi kemanapun, aku ingin terus disini. Menunggu. Sampai kapanpun, untuk bertemu Louis.

Drrrrttt.

Handphone di sakuku bergetar, aku tidak ingin, bahkan untuk mengeceknya.

Drrrrttt.

Benda itu bergetar lagi.

Drrrrttt....
Drrrrtttt....
Drrrrttttt...

What the hell?

Terpaksa, aku mengecek handphoneku, layarku memunculkan foto wajah tampan berlip-ring dengan tulisan 'Penguin' di bawahnya.

Aku mendengus pelan, lalu mengangkatnya. "Halo?"

Terdengar suara lembut dari ujung sana, "Oliv? Lo dimana?" tanyanya.

"Louis," hanya itu. Aku hanya memberinya satu kata dan kurasa dia mengerti karena setelah itu dia langsung memutuskan sambungannya.

Aku menyanderkan kepalaku ke dinding, menutup mataku, dan menghembuskan nafas lalu mengeluarkannya lagi.

Ya Tuhan. Tolong Louis.

⚪⚫⚪⚫⚪

Akhirnya.

Setelah 2 jam lagi menunggu, aku bisa bertemu Louis.

Sekarang giliranku menjenguk Louis, setelah Johannah dan Mark, Mama, Luke, Megan, aku memutuskan untuk menjadi yang terakhir.

Tepat ketika aku akan masuk ke ruangan itu, Luke menyambar pergelangan tanganku.

Aku hanya memberinya tatapan bertanya, "Liv, lo gak apa-apa?" tanyanya.

Aku hanya menggeleng pelan dan memberinya senyum lemas.

Tiba-tiba dia menarikku ke pelukannya, "Everything is gonna be alright, okay?"

"Okay,"

Aku masuk ke ruangan bertuliskan ICU itu, bau alhokol dan obat-obatan menyeruak ke dalam hidungku, tubuhku semakin melemas ketika melihat Louis tertidur dengan semua alat yang sekarang kuyakini menunjang hidupnya.

Aku duduk di kursi sebelahnya, aku langsung memegang tangannya, astaga, dingin sekali.

Perasaan itu datang lagi, perasaan sakit yang menusuk itu kembali lagi. Memenuhi ruang hatiku, meruntuhkan pertahananku. Membuat cairan bening yang kucoba tahan itu keluar begitu saja, untuk yang kesekian kalinya.

Louis hanya terbaring lemah disebelahku, sepertinya bernafas saja sulit.

"Louis..." lirihku.

"Lo kenapa sih? Lo kenapa?"

Aku menggenggam tangan itu lebih erat.

"Lo kenapa gini sama gue?"

Dia masih bernafas dengan tenang, dan teratur, matanya tertutup, begitu damai. Walaupun alat-alat itu masih terpasang sempurna di tubuhnya, dia tetap terlihat seperti malaikat. Malaikatku.

"Gue gak kangen sama lo,"

"Gue boong loh, Lou, kalo gue boong lo pasti tau dan sekarang pasti lo bangun dan nyubit idung gue,"

"Oh, atau, ngacak-ngacak rambut gue, ya kan?" aku tertawa, walaupun air mataku mengalir lagi.

"Please, Lou. Gue udah boong, masa lo gak mau hukum gue?"

"Ayolah, Tommo,"

"Oke deh iya, gue jujur sekarang,"

"Gue kangen lo, nyet," aku tertawa iba pada diriku sendiri.

"Gue kangen dijailin sama lo, gue kangen ngebolos sama lo, gue kangen nginep di rumah pohon berdua sama lo, gue kangen ditraktir es krim sama lo,"

"Please Louis, bangun..."

"Gue pengen ngabisin waktu lebih banyak lagi sama lo, gue pengen ngeliat bintang lagi pake teleskop lo, gue pengen hujan-hujanan lagi bareng lo,"

"Lo tau kan gue suka banget hujan? Begitu juga lo,"

"Gue pengen lo ngeshoot bola lagi dan kalo bola itu masuk, lo tujuin itu buat gue,"

"Gue pengen digendong lagi sama lo kaya dulu waktu kaki gue luka, gue seneng waktu lo khawatirin gue,"

"Gue pengen lo telefon gue dan bilang 'Sleep tight, my Olivia' lagi sebelum gue tidur,"

"Gue pengen denger lo nyanyiin Lost Stars lagi, gue pengen denger suara indah lo,"

"Gue pengen lo ngerangkul gue lagi, gue pengen lo meluk gue lagi, gue pengen denger lo telefon gue tengah malem cuma buat mastiin gue gak mimpi buruk lagi,"

"Lo tau? Sekarang lo kaya gini, dan ini tuh mimpi buruk buat gue, Lou,"

"I'm dying just for it to happen again, I miss you,"

Aku memeluk lengannya, aku menangis lagi, dan lagi. Karena kupikir itu yang bisa kulakukan untuk menenangkan diriku.

"Louis... Bangun..."

:)

home » lwtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang