Home • Dua Puluh Dua
Louis's POV
Olivia Johnson Swan.
Dia itu cewek usil yang pelupa dan pemalas. Oh iya, dia juga tukang tidur dan tukang makan.
Dia lahir tepat 2 bulan setelah aku lahir, 24 Februari. Dia sudah menjadi sahabatku sejak aku dan dia masih kecil, kenapa 'aku dan dia'? Karena aku dan dia tidak akan pernah jadi 'kita'.
Parasnya cantik, dia cerdas, dan mempunyai suara yang indah.
And she's my everything.
I love every little thing about her which makes her just the way she is.
Tidak seperti kebanyakan gadis, gadisku yang satu ini tidak pandai berdandan.
Dia juga tidak pernah menjaga porsi makannya. Yang dia tahu, jika dia lapar apapun bisa dia makan. Ngeri, ya?
Tapi, aku menyukainya. Dia tidak pernah menjaga imagenya, apalagi di depanku. Dan menurutku itu lucu.
Orang-orang berpikir dia selalu jujur pada mereka dan jujur pada dirinya sendiri. Tapi tidak untukku, aku bisa tahu kapan dia bohong dan kapan dia jujur.
Dia selalu terlihat kuat di luar, dan itu yang orang-orang lihat. Olivia yang periang dan selalu bahagia. Padahal nyatanya tidak, bagiku, dia hanya terlihat kuat di luar, padahal sebenarnya dia rapuh.
Itu juga yang membuatku ingin selalu melindunginya.
Semuanya baik-baik saja sampai beberapa tahun lalu, seorang laki-laki mendekatinya.
Entah apa yang membuatku merasa begitu tidak suka jika dia dekat dengan laki-laki lain selain aku.
Entah apa yang membuatku merasa marah dan ingin memukul laki-laki manapun yang mencuri-curi pandang padanya.
Entah apa yang membuatku menjadi overprotective padanya.
Dan kurasa aku tahu, aku jatuh cinta.
Dia cinta pertamaku.
Dia yang mencuri hatiku.
Sejak dulu.
Dia yang memiliki hatiku.
Selalu.
Aku frustasi karena aku selalu berpikir aku tidak akan pernah bisa memilikinya, aku berpikir dia tidak mungkin merasakan hal yang sama.
Aku melampiaskan semuanya pada gadis-gadis lain.
Dia berpikir kalau aku itu player, dan mungkin aku begini karena aku belum menemukan gadis yang benar-benar membuatku jatuh cinta.
Lo salah Liv, itu lo. Dan selalu lo.
"Louis! cepet!" serunya bersemangat.
"Oliv tungguin aku! Awas nanti kamu jatuh!" ujarku, yang tertinggal beberapa meter di belakangnya.