"Rian." Dari tadi Rian menjemputku di kelas sampai sekarang sudah hampir sampai di parkiran dia hanya mendiamkanku. Aku hanya mengekorinya sampai ke parkiran. Bahkan saat aku panggil dia tidak menjawabku. "Rian, look at me." Akhirnya Rian menoleh ke arahku. Untung saja tadi kami tidak langsung pulang. Jadi sekarang parkiran sepi dan hanya ada beberapa siswa.
"Lo gak perlu mukul Luke kayak tadi," ujarku dengan wajah lelah.
Rian mengernyitkan dahinya setelah mendengar pertanyaanku. Rian hanya menatapku dengan tatapan meminta penjelasan.
"Gue tau alesan lo marah. Gue seneng lo peduli sama gue. Tapi itu cuma masa lalu Rian. Lagian semuanya udah beberapa tahun yang lalu." Masa lalu tidak perlu diungkit lagi. Masa lalu itu digunakan sebagai pelajaran agar bisa lebih baik di masa depan.
"Lo gak inget dulu keadaan lo kayak gimana?" aku takut mendengar nada bicara Rian. Aku hanya menunduk melihat ujung sepatuku.
"Gue sudah maafin dan ngelupain semuanya. Jangan sampai masa lalu ngebuat persahabatan lo hancur. Gue tau Luke itu temen terdeket lo dari kecil."
Rian mendongakkan kepalaku agar aku menatapnya. "Jadi?"
"Lo baikan ya sama dia?"
"Lo gakpapa?" tanya Rian meyakinkan. Aku hanya menganggukkan kepala -yakin- sebagai jawaban. Aku tahu Luke itu teman yang sangat berharga baginya.
"Lagian, semalem gue ketemu Luke di minimarket apartemen lo. Dia nganterin gue balik ke apartemen dan gue ajak dia nge-game juga. Gue udah maafin dia." Mungkin ini memang waktu yang tepat untuk menceritakan kunjungan Luke semalam ke apartemen.
"Lo kok baru bilang?" tanya Rian sedikit berteriak. Tapi tidak terdengar kemarahan dalam suaranya.
"Gue takut lo marah kayak tadi. Maafin Luke aja ya? Gue tahu dia teman terbaik lo mulai orok," ujarku dengan senyum lebar.
"Oke. Gue bakal minta maaf nanti kalo ketemu dia. Sekarang ayo kita pulang." Rian langsung menarik tanganku ke arah motornya di parkirkan.
"Pulang kemana?" Rian pasti tau maksud pertanyaanku tadi.
"Lo maunya pulang kemana?"
"Ke rumah. Gue takut bunda sama ayah khawatir."
Aku mendengar helaan napas Rian, "Baiklah. Ayo," katanya.
Aku dan Rian hanya diam saat perjalanan menuju rumah. Saat sampai rumah, Rian menurunkanku di depan rumah. Aku langsung masuk ke dalam sedangkan Rian memasukkan motornya ke dalam garasi.
Saat melewati ruang keluarga, aku melihat ayah sedang duduk sambil membaca koran. Aku langsung menghampirinya dan duduk di single sofa di depan ayah. Ayah langsung menghentikan aktivitasnya membaca koran dan melihatku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
"Kenapa pulang?" tanya ayah dingin.
Aku mematung mendengar pertanyaan ayah yang dilontarkan dengan nada dingin. "Udah bagus kalian berdua gak ada di rumah ini."
Aku gak tahu kenapa ayah dingin seperti ini, dari dulu aku berusaha akrab dengannya. Namun, dia sepertinya membenciku dan Rian. Ayah langsung bangkit dan meninggalkanku sendiri di ruang keluarga.
Aku hanya bisa melihat kepergian ayah. Tak ada air mata, aku sudah terbiasa dengan sikap ayah. Entah kenapa aku menutup mata dan berharap suatu hari ayah akan bersikap baik padaku.
***
Rian's POV
Aku langsung masuk ke dalam rumah dan mendapati ayah sedang membentak Riana, ah bukan membentak. Nada suaranya dingin, sarat akan kebencian. Aku hanya diam di depan pintu dan melihat kejadian itu. Dan sampai ayah meninggalkan Riana, aku masih saja diam di tempat. Sadar, aku langsung menghampiri Riana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rian(a) [COMPLETED]
Novela JuvenilSetelah membaca apa isinya, aku langsung membuangnya ke tempat sampah dekat loker. "Pembalasan baru dimulai." Ya kira-kira begitulah tulisan yang tertulis di kertas yang baru saja kubuang. Entah siapa yang tidak pernah bosan meletakkannya di dalam l...