Air mukanya berubah. Caitlin sepertinya tidak mau membahas masalah ini lagi. Tapi aku tak kehilangan cara untuk membuatnya membuka mulut. "Ayolah. Aku hanya ingin tahu." desakku pada Cait. Aku tahu Caitlin adalah orang yang mudah dipaksa dan, "Begini." Caitlin berdeham sebelum melanjutkan ucapannya. "Kurt menjadi psikopat karena--"
"Caitlin dan Yael. Apa yang kalian ketahui mengenai rumus baru ini?" Mr. Kellèr menatapku dan Caitlin sinis begitu kami mendongkakkan kepala. Aku langsung duduk dengan rapi, mengingat tak ada satu pun rumus yang hinggap di otakku. Sejauh ini, Caitlin tak berani lagi menoleh ke arahku pada saat jam pelajaran Mr. Kellèr.
***
Sepulang sekolah, aku kembali menyapa Caitlin untuk membicarakan masalah yang Kurt alami. Aku sempat berbasa-basi dahulu sebelum menunjukkan poin pembicaraanku. Urat leher Caitlin spontan menegang saat kalimatku mulai menjurus pada masalah itu, aku dapat melihatnya. Ia bahkan beberapa kali kesulitan menelan air liurnya. Aku mencoba membuat Caitlin bersikap biasa lagi, namun aku juga kewalahan mengontrolnya. Mengapa ia terlihat takut untuk menceritakan hal ini? Bukankah tadi ia sempat bercerita mengenai hal yang sama pada Ariana dengan suara lantang? Oh, atau Griffen memaksanya untuk tak membicarakan ini lagi? "Kurt menjadi psikopat karena--"
"Yael." aku menoleh ke arah sumber suara. Ternyata itu Kenya. "Aku--kemarilah. Aku akan membicarakan hal penting." Kenya menarikku pelan, sialan dia memaksaku. "Temui aku di De Mello Palheta Coffee Roasters pukul 3 sore." ucapku sebelum pergi meninggalkan Caitlin. Ia mengangguk beberapa kali, sebelum akhirnya punggungku menghilang dari pandangan matanya. Brengsek, mengapa selalu saja banyak penganggu? Apa yang membuat masalah ini begitu sulit untuk aku ketahui, hah?
Kenya menghentikan langkahnya di depan loker milik Aidan Collins. Apa maksudnya membawaku ke mari? Apa hubungannya dengal hal penting yang akan Kenya sampaikan? Aku memalingkan wajah pada Kenya. Sungguh ini membuatku bertambah bingung. Ia tersenyum karena melihatku seperti manusia ling-lung. "Aku menyukai dia." jelas Kenya, matanya melirik pada loker tersebut. "Aidan? Si hip-hop dancer konyol itu, hah?" aku menyandarkan punggungku di loker yang lain. Kenya tampak berpikir, kurasa dia tidak menyetujui pendapatku. "Apa katamu? Ketahuilah, dia itu sangat mengagumkan. Aku pernah melihatnya menari di Vancouver City Hall saat aku berlibur. Itu hebat, kan?"
Demi Tuhan, Kenya tidak dapat berhenti bicara sekarang. Aku tahu seberapa tampannya Aidan, tapi percayalah, semua pujiannya terdengar berlebihan. "Oh, baik. Jadi apa hal pentingnya?" tanyaku langsung pada Kenya. Aku tidak peduli jika ia akan marah. Aku buru-buru. "Aidan mengajakku pergi nanti malam. Aku harus menjawab apa?" bodoh sekali dia. "Jika kau menyukainya, mengapa kau tak menerima ajakan itu? Ken, dengar. Aku masih merasa penasaran dengan Kurt. Aku harus pergi." aku melenggang darinya dan segera pulang ke rumah sewaanku untuk bersiap-siap pergi ke DMPCR. Aku tidak boleh terlambat untuk ini.
***
Bola mataku mengedar mencari Caitlin. Seharusnya ini menjadi mudah karena gaya fisiknya bisa terbilang berlebihan. Oh, sial. Ia datang terlambat. Aku memilih tempat duduk kosong di dekat jendela besar yang langsung menghadap ke Yonge Street yang cukup ramai hari ini. "Kau menunggu lama?" tiba-tiba Caitlin menyapaku dari samping. Aku sedikit terperanjat tapi aku langsung menetralisir ekspresiku setelahnya. "Ya. Tapi tidak masalah." bibirku berkedut lalu memanggil seorang waiter untuk memesan sesuatu.
"Apa yang kalian butuhkan?" waiter perempuan itu bersiap menuliskan pesananku dan Caitlin di kertasnya. "Aku ingin chocolate chip muffins dengan coffee cappucinno." mataku beralih pada Cait, mempersilakan dirinya untuk memesan sesuatu. "Coffee cappucinno dan almond croissants, tolong." Caitlin tersenyum pada waiter tadi lalu menopang dagunya dengan kedua punggung tangannya. "Kau bisa menceritakannya sekarang." sialan, apa aku terlihat bossy?
Caitlin menghela napas sebelum ia angkat bicara mengenai masalah Kurt. "Delapan hari lalu--oh Yael, aku melupakan sesuatu. Kupikir kau bisa menjaga rahasia ini, jika aku menceritakannya padamu. Aku telah diancam Griffen untuk tak menceritakan hal ini pada siapa pun." Caitlin memotong ceritanya. Demi mempersingkat waktu, aku mengangguk mengiyakan. "Kurt mencoba sesuatu hal yang berbau mistis. Ia melakukan hal itu dan kau tahu? Ini adalah sebuah mitos menyeramkan. Aku tidak tahu hal semacam apa, tapi aku yakin, hal tersebutlah yang memicu lemahnya psikologi Kurt. Menurutku dia adalah seorang psikopat sekarang."
Sialan. Mengapa Caitlin tidak menjelaskan masalah ini dengan detail? "Psikopat? Dia bahkan tidak pernah membunuh siapa pun, kurasa." aku menepis pendapat Cait. Aku tahu, tadinya aku percaya bahwa Kurt adalah seorang psikopat. Tapi entahlah, ini aneh jika Kurt menjadi psikopat hanya karena ia melakukan 'hal' yang belum jelas itu. Lagi pula itu hanya mitos, kan? "Ketahuilah bahwa seorang psikopat akan membunuh dengan cara keji tapi mereka melakukannya dengan rapi. Mereka tak pernah meninggalkan jejaknya setelah menghabisi korban. Dan Kurt? Sekarang ia selalu memakai hoodie hitam atau abu-abu? Entahlah. Aku mulai berpikir bahwa ia membawa pisau atau korek api di baliknya." jelas Caitlin sambil menatapku penuh rasa cemas.
Waiter tadi datang dengan pesanan kami. Lantas aku menyesap kopi kapucinonya lalu menyandarkan punggungku ke kursi. Caitlin benar. Tapi itu tidak mungkin. Seisi Toronto belum pernah menemukan mayat dengan keadaan mengerikan akhir-akhir ini. Jangankan mayat, berita orang hilang pun tak ada. "Baiklah. Aku tidak peduli dengan spekulasimu dan juga spekulasiku. Aku ingin tahu 'hal' yang kau katakan tadi." aku mengigit chocolate chip muffinsku lalu menatap Caitlin lagi.
Sekarang giliran Caitlin yang menyantap makanan pendampingnya. Gigi putih yang ia miliki terlihat begitu rapi saat ia menggigit almod croissantnya. "Sialan, krimnya." ujar Caitlin sambil mengusap ujung bibirnya yang sudah terlumuri krim campuran dari vanilla, almond meal, butter, dan lain sebagainya. "Apa katamu tadi?" brengsek macam apa gadis ini, hah? "Kubilang, aku ingin tahu hal apa yang telah Kurt lakukan." aku menekan nada sarkasmeku pada Caitlin tapi kurasa dia tidak mempedulikannya. "Kalau begitu, tanyakan saja pada ibu atau ayahnya. Atau Griffen?" Caitlin memberikanku beberapa saran, tapi bertanya pada Griffen bukanlah ide bagus. "Aku akan bertanya langsung pada Kurt."
Kedua bola mata hazel milik Caitlin membesar. Ia terbelalak mendengar ucapanku. "Itu terserah padamu. Ketahuilah, psikopat akan membunuh siapapun bila ia merasa diintimidasi." ekspresi Caitlin berubah menjadi sedikit dingin sekarang. "Oke. Terimakasih atas semua saranmu." kataku sambil mencari dompet di tas kecilku. "Ya. Omong-omong, itu peringatan. Bukan saran." aku terkekeh mendengar ucapannya sambil mengeluarkan dompet dari tas. Aku memanggil seorang waiter dan, "CAD$8,90." ia menarik dua sudut bibirnya agar dapat memamerkan senyum manis yang ia miliki di hadapanku. Kemudian, aku memberikannya CAD$10 untuk membayar. "Ambil kembaliannya. Caitlin, aku pergi." lalu aku berjalan keluar dari De Mello Palheta Coffee Roasters ini.
Sambil berjalan menuju halte rute 320, aku merogoh tasku untuk mendapatkan ponsel milikku. Aku akan menghubungi Kenya. "Ken, temani aku untuk pergi ke rumah Kurt besok sore." tulisku, lalu mengirimkannya pada Kenya. "Jangan melakukan hal gila. Kau bilang dia psikopat. Berhentilah menggangguku. Aku sedang merias diri untuk kencan pertamaku." aku mendecak membaca balasan dari Kenya. Ini memuakkan. "Aku anggap jawabanmu itu sebagai 'ya'. Sampai jumpa."
***
Keesokan harinya aku melihat Kurt sedang melakukan olah raga pagi dengan golden retrievernya. "Kurt?" aku menyapanya saat ia melewati halaman depan rumahku. Detik selanjutnya, aku mematikan saluran air yang mengalir di slangku yang biasa aku pakai untuk menyiram. Kurt menoleh, diikuti dengan anjingnya. Ia mengernyit kebingungan lalu menghampiriku. Kedua telapak tangannya ia sembunyikan di saku hoodie abu-abunya. "Yael." Kurt membalas sapaanku. Ini membuatku bingung. Ia sama sekali tidak gila. Jadi, apa dia benar-benar psikopat?
Next? Beneran deh vote sm comment dibutuhin bgt pls:( nulis pake otak loh nih:( klik sekali doang d bintabg, cuma sedetik kok hehe dan ga buat mati:( dont be a silent readers bcs aku nulisnya mikir bgt nih wkwk:(
Note: VOTE AND COMMENT PLEASE.
A picture of Elle Fanning as Kenya Darlene Morris is available on multimedia.
Sekali lagi vote sm comment dong.
[Budayakan Vote atau Comment Setelah atau Sebelum Kalian Membaca] Thank you, active readers! xx

KAMU SEDANG MEMBACA
She Troubled
Misterio / SuspensoShe loves walking in the dark. She loves playing with blood. She loves lying to other human because she life to be a faker. She is a psychopath and she loves killing. Be careful, she is around you. Hai peeps! Jangan diliat covernya aja, baca dulu la...