Keesokan harinya aku melihat Kurt sedang melakukan olah raga pagi dengan golden retrievernya. "Kurt?" aku menyapanya saat ia melewati halaman depan rumahku. Detik selanjutnya, aku mematikan saluran air yang mengalir di slangku yang biasa aku pakai untuk menyiram. Kurt menoleh, diikuti dengan anjingnya. Ia mengernyit kebingungan lalu menghampiriku. Kedua telapak tangannya ia sembunyikan di saku hoodie abu-abunya. "Yael." Kurt membalas sapaanku. Ini membuatku bingung. Ia sama sekali tidak gila. Jadi, apa dia benar-benar psikopat?
Tubuhku menjadi kaku ketika aku ingat pada ucapan Caitlin saat di cafè, "...aku mulai berpikir bahwa ia membawa pisau atau korek api di baliknya." Mataku jatuh pada pandangan matanya yang dingin. Ia tak seperti bisanya. Kurt dan golden retrivernya mendekat. Ia mengeluarkan satu tangannya dari saku hoodie yang ia pakai. Kurt, jangan bunuh aku sekarang. Satu kakiku bergerak mundur, mengatur ancang-ancang bila si psikopat ini mulai mengeluarkan pisaunya. Sialan. Tangan kanannya kosong. Bagaimana bisa otakku terkontaminasi dengan pikiran buruk yang Caitlin ucapkan?
Aku mendesah lega. Kurt pun menghentikan langkahnya saat jarakku dan dia hanya berkisar satu setengah meter. Pandangan mata abu yang ia miliki masih ada padaku. Lantas ia menarik bibirnya menjadi satu garis lurus. Rahangnya mengeras, Kurt menekan dua banjar giginya, kurasa. Otakku kesulitan menebak hal yang ia pikirkan. Aku bahkan sulit membedakan psikopat seperti dia dengan manusia normal. Tunggu, apa aku sudah mempercayai ucapan Caitlin? Tidak. Kurt bukanlah seorang psikopat. Ini terbukti, ia tak membawa apapun di saku hoodienya.
"Kau membuang waktuku." ucapan Kurt membuatku tidak sengaja menamparkan diri ke bawah. "Oh, Kurt. Hey." aku yang baru saja sadar dari lamunanku menanggapi ucapan Kurt, mencoba sebisa mungkin untuk tak terlihat bodoh. Tapi sayangnya ekspresiku memang bodoh dan sedikit idiot. Kurt mengerucutkan bibirnya di hadapanku untuk yang pertama kali. Ia mengangkat dagunya naik lalu menurunkannya. Kurt melakukan hal itu dengan cepat, itu artinya ia sedang menungguku bicara lagi. "Ke mana kau selama satu minggu ini, eh?" tanyaku spontan. Entahlah, menurutku spontanitas ini menyelamatkanku alih-alih ia murka jika aku bertanya mengapa kau berprilaku seperti psikopat dan apa hal yang kau lakukan sehingga kau menjadi seperti ini secara langsung.
Laki-laki ini kaku untuk beberapa detik. Ia memikirkan jawabannya matang-matang, kupikir. "Hanya bermain dengan Edward. Mengapa?" Kurt melirik golden retrivernya itu lalu menatapku lagi. Aku mengangguk mengerti padanya. "Apa ada hal penting yang kau ingin tanyakan?" ia berjongkok lalu mengelus leher peliharaan kesayangannya itu. Aku menggeleng, aku terlalu takut untuk mengatakan hal ini. "Sekolah akan dimulai satu setengah jam lagi. Kupikir, kau lebih baik bersiap-siap." Kurt berdiri lalu membawa golden retriver yang ia beri nama Edward itu pergi. Sialan. Harusnya aku mulai bertanya!
***
Koridor sekolah belum tampak ramai saat aku melewatinya. Kakiku berbelok menuju loker dan menyimpan beberapa barang di sana. Aku menemukan seorang yang cukup familiar di mataku. Dua bola mata hijau yang ia miliki, rambut coklat gelapnya, sialan itu Aidan. Aku menutup lokerku lalu menguncinya. Aidan tersenyum saat melihatku. Aku membalasnya sekilas lalu pergi ke kelas.
Saat aku memasuki ruangan yang penuh dengan teori gila ini, aku melihat Jayden sedang duduk di kursi dekat jendela. "Apa aku boleh duduk di sampingmu?" aku menampar khayalan Jayden ke bawah. Ia menatapku canggung lalu membenarkan posisi duduknya. Bibirnya berkedut, aku melihat jejak senyumannya tadi. Jayden mengangguk, menyetujui permintaanku. Sekarang bola mataku mengedar. Aku mencari sesosok gadis blonde yang mempunyai tubuh ramping dan bernama Griffen keparat Campbell. Aku membencinya. Mengapa ia selalu memamerkan tatapan dinginnya yang memuakkan itu, hah?
Lantas Jayden mengambil bukunya dan menuliskan sesuatu yang tidak aku pedulikan. "Di mana Griffen?" aku masih mengedarkan pandanganku. Aku akan segera menyingkir bila ia datang. Jayden menggeleng dan mengangkat bahunya tunggi, kupikir dia berkata jujur. "Oke. Lalu mengapa kau terlihat begitu kaku?" aku bertanya lagi, sialan si Jayden ini. Mengapa ia tak mau mengeluarkan suara untukku? "Tidak ada--maksudku, aku belum terbiasa mengobrol denganmu." Jayden kembali terlihat gugup. Oh. "Baiklah."
***
Mr. Hayes sedang menuliskan teorinya saat bel berbunyi nyaring. Kau harus tahu, aku tidak menemui Griffen sampai saat ini. Kemana dia? Akhirnya tatapanku jatuh pada buku yang terbuka lebar di depanku. Aku tidak membacanya, aku hanya memikirkan beberapa hal tentang kemungkinan penyebab psikologi Kurt menjadi lemah. Sialan. "Yael!" pekik Jayden mengagetkanku. Apa-apaan dia? Aku menoleh dan mendapatinya sedang menatapku kebingungan. "Kau melamun, hah?" tanya Jayden sambil mengangkat satu alisnya.
Otakku berpikir untuk mencari jawaban. Tapi aku sulit berbohong kali ini. Aku mengangguk mengiyakan, lalu Jayden memutar bola matanya. Apa yang salah? "Aku memikirkan apa penyebab Kurt menjadi psikopat." aku menutup bukuku dan memasukkannya ke dalam tas. "Yael, Kurt tidak psikopat." bela Jayden sambil menatapku. Sialan, tatapannya seakan mengunci seluruh syarafku! "Pagi tadi aku bertemu dengannya. Aku hendak bertanya sesuatu tapi aku terlalu takut untuk bicara." jelasku seraya melanjutkan aktifitasku--membereskan buku karena pelajaran Mr. Hayes telah berakhir.
Mata Jayden sedikit terbelalak mendengar ceritaku. "Kupikir Kurt tidak sedang ingin berbicara pada siapapun." ucap Jayden lirih. "Aku tidak tahu--tapi apa kau tahu apa penyebab Kurt menjadi seperti ini?" aku menggigit bibirku sambil menunggu jawaban dari Jayden. Ia terlihat frustasi dengan semua isi otaknya. Aku tidak tahu, tapi ia begitu terlihat cemas. "Dia melakukan sebuah permainan bernama knife event." Jayden memijit dahinya pelan. Oh, apa dia benar-benar frustasi? Aku mencoba mengendalikan emosinya, "Jayden, tenanglah."
Sekarang Jayden beranjak pergi. Ia keluar kelas begitu saja. Dengan cepat, aku mengejarnya dan kedua mataku mendapati Jayden dan Griffen sedang berbicara. Aku memperhatikannya dan tak lama setelah itu, aku mendengar Griffen sedikit berteriak, "Kau tidak perlu peduli dengannya. Cukuplah si keparat Jericho yang kau ambil." sial, apa yang sebenarnya mereka katakan? Jayden berbalik, meninggalkan Griffen yang masih berbicara. Ia menggerutu setelahnya. Oh, aku suka melihatnya diabaikan. Aku melihat perempuan bermata hitam kecoklatan--Jayden itu mendekat ke arahku. "Temui aku di halte TTC rute 97." kemudian ia melewatiku, langkahnya menjauh menuju gerbang sekolah. Aku mengikutinya saat kupikir ia memang benar-benar sedikit jauh dariku. Kau tahu? Aku cukup penasaran dengan apa yang akan ia sampaikan.
Woiii sumveh ini mikir lama bgt stuck d sni:( makanya gj bgt kan?iyaiya tau:( kosong bgt nih part isinya shit semua tp yaudahlahyaaa.......
Note: VOTE AND COMMENT PLEASE.
A picture of Jordyn Jones as Griffen Campbell is available on multimedia!
[Budayakan Vote/Comment setelah atau sebelum baca] Thankyou sweettie.

KAMU SEDANG MEMBACA
She Troubled
Mystery / ThrillerShe loves walking in the dark. She loves playing with blood. She loves lying to other human because she life to be a faker. She is a psychopath and she loves killing. Be careful, she is around you. Hai peeps! Jangan diliat covernya aja, baca dulu la...