Chapter 18

60 10 0
                                    

Vote and comment are needed karena nulis tuh butuh mood yang pas dan imajinasi yang tinggi(?) Get ready for this chapter everyone! Happy reading.


     #
Yael's Point of View
Aku membuka kelopak mataku lalu duduk di pinggiran kasur---well, sofa maksudku. Duh, mengapa akhir-akhir ini aku sering tidur di sini?

Kuputuskan untuk menyalakan televisi dan beranjak membuka gorden karena siluet matahari tampaknya sudah tinggi.

Saat aku kembali ke sofa, ponselku berdering. Aku pun mengambilnya dan melihat Aidan sudah meninggalkan banyak pesan untukku. "Aku hampir saja sampai. Kau sudah siap?" juga, "Yael, aku sudah berada di depan rumahmu." ada lagi, "Yael, kau di sana?" lalu, "Demi Tuhan, aku menunggumu satu jam di depan." dan pesan terakhir, "Kita tidak pergi ke pet shop hari ini." oh, aku bahagia.

"Lagi-lagi ditemukan mayat seorang wanita bernama Giselle Madill di dalam satu gang kecil di Hamilton Street. Keadaannya sangat mengenaskan. Diduga ia dibunuh seseorang bernama Derth. Tampaknya sekarang polisi Toronto lebih memperketat dan memfokuskan kinerjanya pada kasus pembunuhan misterius yang belakangan terjadi." jelas reporter yang sedang kewalahan berbicara di hadapan live kamera.

"Aku tidak tahu---maksudku, aku hanya menemukan mayat perempuan itu tergeletak begitu saja di gang saat aku akan membuang sampah." Rodriguez, nama itu terpampang di layar sebagai saksi mata.

Membosankan. Setiap hari beritanya pasti pembunuhan. Aku hanya memutar bola mata, mereka hanya fokus pada satu masalah, kan? Padahal aku yakin, banyak sekali masalah di Toronto bahkan seluruh Canada.

Lantas aku ke dapur---tepatnya ke kulkas. Aku mengambil susu plus plus dan sereal di lemari makanan. Kucampur jadi satu lalu langsung aku makan di meja pantry. Gez, liburan sampai kapan, sih? Oh, mungkin aku bisa menghubungi Evan---ayah Kenya untuk berkunjung ke rumahnya sekedar mengobrol dengan abu kremasi anaknya? Ide bagus.

***


"Ya. Bisa? Oh, oke baik, aku akan ke sana sekarang. Terima kasih, Evan." klik. Aku menutup ikon memutus sambungan telpon pada Evan. Dan guess what? Aku akan pergi ke rumah Kenya untuk mengobrol dengan abu kremasinya. Aneh? Bung, dia satu-satunya orang yang tahu bagaimana aku yang sebenarnya.

15 menit kemudian aku sampai di halte. Cukup ramai untuk hari liburan setelah natal. Aku menunjukkan monthly passku dan memasuki bus. Crap, aku akan hampir mati kebosanan mengingat rumah Kenya tidak bisa hanya ditempuh dalam 5 menit dan aku ke sana sendirian.

Tanganku merekatkan mantel krem yang kupakai lalu keduanya kusembunyikan di balik saku. Suhunya kelewat dingin; minus 13 derajat walaupun cuacanya cerah dan langit pun murni berwarna biru kosong melompong tanpa awan.

"Yael." sapa seseorang dari samping. Aku menoleh dan Caitlin Thompson sedang berusaha duduk kursi sebelahku dengan susah payah karena bus tiba-tiba berjalan. Aku hanya menaikkan satu alisku untuk membalas sapaannya. "Kau selalu bersikap dingin jika tidak bersama Ken." sahut Caitlin sambil mengangkat bahu dan bibir merah miliknya pun ikut berekspresi. Sudah kubilang ia memang anak paling ekspresif.

Ia memasang earphone yang besar dan berbulu. Oh, bukan earphone. Aku tidak tahu namanya tapi orang bilang benda itu bisa menghangatkan telinga(?). "Kau tidak kedinginan?" tanya Caitlin sambil memasukkan permen karet sialannya itu ke dalam mulutnya. Aku benci saat orang sendang mengunyah permen karet. Entahlah, mereka terlihat arogan, menurutku. Mereka tidak sadar jika di atas langit masih ada langit. (A/N: ngomongin paan si gw).

Aku mengulum bibirku lalu menyibakkan rambutku. "Tentu aku kedinginan." lalu aku menyelipkan rambutku di daun telinga dan menatap kursi di depanku. Aku melihat Caitlin sedang mengangguk ria dari ekor mataku. "Tapi kau bahkan tidak memakai beanie di kepalamu. Hanya mantel dan---flat shoe? What the fuck, Yael? Ini minus 13 derajat, kau tahu? Dan omong-omong, perpaduan mantel, kaus putih, celana hitam dan flat shoe itu lucu." gez, dia mengucapkan itu sambil tertawa terbahak-bahak dan aku tersinggung.

"Aku suka pujianmu, Cait." sahutku sangat sarkastik dan si ekspresif Caitlin fucking Thompson itu masih tertawa. Aku hanya memutar bola mata berkali-kali dan mendecak menunggu Caitlin selesai dengan tawa keparatnya itu. "Well, rambutmu dark blonde, huh?" Caitlin akhirnya berhenti tertawa dan sialan dengan pertanyaan bodohnya. "Bukan. Ini brunette." jawabku acuh.

Dia malah mengernyit bingung. "Aku tidak tahu mengapa kau bicara seperti itu tapi rambutmu benar-benar dark blonde, Yael." kata Caitlin mengotot. Lalu apa masalahnya jika rambutku dark blonde namun aku bilang brunette?

Kemudian aku kembali menatap jalanan. Great, sebentar lagi sampai. Aku pun hanya perlu bersiap-siap sebentar untuk turun. "Kau turun di sini?" tanya Caitlin---menghalangi jalanku. "Bukan urusanmu." aku masih kesal padanya tbh, karena ia mempermasalahkan warna rambutku.

*****


Aku berjalan di sekitaran trotoar Yonge Street yang sudah mulai ramai sebelum akhirnya sampai di depan rumah Kenya. Kau tahu, sepertinya Evan sangat sedih. Ia bahkan belum membersihkan halamannya dari sisa salju dan pernak-pernik natal pun masih terpasang rapi.

Jari telunjukku memencet bell lalu 29 detik kemudian Evan membukakan pintu. "Aku akan pergi ke gereja untuk beberapa urusan. Maaf aku tak menemanimu. Oh, simpan kunci rumahnya di---titipkan di sana." Evan bicara padaku tanpa jeda. Huh, kubilang dia memang sangat merasa kehilangan Kenya. Buktinya ia mencari kesibukan sampai rumahnya terlihat terbengkalai dari luar.

Segera, aku mengangguk. Evan juga langsung berjalan lagi menuju mobilnya di halaman dan melajukannya tidak kalem. Aku menggidikkan bahu, tidak peduli lalu masuk ke dalam.

Gez, rumahnya sangat berantakan! Malah bisa dibilang lebih kacau dari pada keadaan di luar tadi. Namun seluruh barang-barang yang ada di sini tidak berubah sama sekali dari saat terakhir kali aku mengunjungi rumah Kenya. Kupikir Evan nyaman dengan tataan seperti itu atau bahkan tidak peduli dengan rumahnya.

Kulanjutkan acara berjalanku ke kamar Kenya. Aku tahu, abu kremasinya pasti disimpan di sana karena dulu, saat aku mengunjungi rumah ini aku melihat tempat abu kremasi Daniella---kakaknya di kamar milik Kenya. Ingat saat Evan bilang ia akan menyimpan abu itu di samping abu Daniella? Jadi kemungkinan besar di sanalah tersimpan abu kremasian kakak-beradik itu.

Krek. Kenopnya berhasil kuputar dan pintunya terbuka. Kamar Kenya masih sangat rapi. Aku duduk di bibir kasur ungunya dan merabanya perlahan. Aku merindukannya. "Ken, apa kau baik-baik saja di sana? Aku rusak tanpamu, Ken. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri." aku menatap satu tempat---abu kremasian yang persis seperti yang kulihat di gereja dekat kremator.

Hening pun terjadi. Mataku menatap ke langit-langit. Aku hampir menangis hanya karena Kenya. "Ken, apa kau dapat mendengarku? Jika ya, hentikan aku. Ini membuatku bosan." sialan, aku mulai menangis. Tiba-tiba bruk, sebuah buku jatuh dari nakas. Karena terkejut aku pun menoleh untuk memastikan keadaan(?).

TO BE CONTINUED...

She TroubledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang