Chapter 9

90 10 0
                                    

Beruntung karena busnya telah sampai di halte dekat sekolah. Aku tidak perlu susah payah menghadapi omongan Griffen lagi. Pantas saja ia dibully. Ia tidak pernah mau menghormati orang lain. Aku keluar dari bus sengaja tak berbarengan dengan Griffen. Itu bukanlah ide bagus untukku.



Sesampainya di sekolah, aku dapat melihat banyak sekali siswa yang bergerombolan, membicarakan sesuatu. Aku melihat Aidan di antara mereka. "Ya. Kematiannya begitu menyeramkan. Kau melihat mayatnya? Aku menjamin bila kau benar-benar melihatnya, kau akan muntah." aku yang sedang berjalan malah terfokus pada ucapan Ian barusan. Ia adalah anak laki-laki kurus, berbadan tinggi, keturunan Asia, dan suka menggoda perempuan. Apa ia sedang membicarakan Kenya? "Sangat menjijikkan. Apa lagi saat mendengar bahwa tangan kirinya dimakan oleh anjing peliharaannya sendiri." tambah Valney, teman sekelasku. Ia memang laki-laki yang mudah bergaul dengan siapapun. Kemampuannya begitu bagus hingga satu sekolah pun mengenalnya kurasa.



Langkahku berhenti. Mereka tidak sedang membicarakan Kenya. Ini berita pembunuhan lain. Akupun memutuskan untuk masuk ke dalam kerumunan orang-orang itu yang didominasi oleh anak kelas 11. "Maaf, siapa yang mati?" kataku. Akhirnya semua pandangan mata mereka ada padaku. Aku menatap mereka canggung. "Connor Cage, si laki-laki yang gemar berjogging." jelas Valney. "Connor mati kemarin malam. Ia ditemukan dengan keadaan yang sudah mengenaskan di rumahnya sendiri. Di tambah dengan ukiran Derth di keningnya. Pembunuh itu bernama Derth kurasa." Aidan pun ikut menjelaskan. Aku bergidik ngeri.



Tiba-tiba saja Caitlin--makhluk paling ekspresif itu datang. "Kau tahu, Canada AM tengah mengadakan shooting livenya di rumah Connor!" ia memekik dan ini mengakibatkan semuanya meringis karena lengkingan suaranya. "Apa di sana sudah dipasang police line?" tanya Ellis begitu antusias. Caitlin mengangguk menanggapinya. Oh, masalah apa lagi ini. Jayden pun muncul dari balik punggug Jericho. Mereka memang tampak seperti sepasang kekasih. "Yael." sapa Jayden lalu mendekat ke arahku. Aku tersenyum dengan refleks padanya.



Akhirnya aku dan Jayden memutuskan untuk pergi ke kelas meninggalkan acara hangat yang segerombolan anak tadi buat. "Bagaimana dengan keadaan Kurt?" aku bertanya asal pada Jericho dan Jayden. Mereka saling memandang dan kupikir itu adalah gesture yang Jayden berikan agar Jericho yang berbicara. "Aku tidak tahu--maksudku Kurt sering pergi keluar saat aku mengunjunginya. Jadi aku belum pernah memeriksanya." ungkap Jericho. Ia tampak begitu tampan hari ini. Well, wajahnya sedikit mirip dengan Justin Bieber. (A/n: abaikan-_-) "Whoah, apa dia bilang? Memeriksanya?" teriak Jayden dan tawanya langsung membludak keluar.



Jericho hanya memutar bola matanya kesal. "Kau tahu, aku tampan, cerdas, psikolog paling tampan, berkharisma, tampan, dan yang paling penting adalah, wajahku hampir serupa dengan Justin Bieber." sontak aku dan Jayden tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Dia bilang, dia serupa dengan Justin?" kataku sedikit menohok. "Oh? Kau harusnya lebih teliti mendengarkan berapa kali ia bilang bahwa ia tampan. Dia terlalu percaya diri. Sadarkah kau, bung?" Jayden meninju bahu Jericho pelan. Entah mengapa, laki-laki ini malah berakting seakan-akan tinjuan itu begitu menyakitkan. Well, ia adalah laki-laki humoris.

***



Kulirik jam tanganku, ini masih pukul 2pm. Masih ada waktu satu jam untuk belajar di dalam ruangan ini bersama Mrs. Harper. Aku hanya menatap kosong white board di hadapanku yang sudah mulai penuh dengan tulisan Mrs. Harper. Mataku menatap Jayden dari pinggir dan ia pun menyadarinya. Jayden menatapku seolah berkata 'Ada apa?' dan dengan cepat aku menjawab pertanyaan tololnya itu. "Aku ingin buang air kecil dan mendapatkan makan siangku di luar." kataku sedikit berbisik. Jayden terkekeh pelan, "Kau tahu? Ini adalah hari terakhir kita sekolah di musim dingin. Ayolah, hanya satu jam. Lagi pula si Harper itu tidak akan betah di sini berlama-lama. Lihat, manusia di sekeliling kita bahkan tak memperhatikannya." ia menyibakkan rambut brunette miliknya itu lalu mengikatnya longgar. Aku hanya memutar bola mataku. Jayden begitu berbeda dengan Kenya.



Sudah 56 menit berlalu dan itu artinya jam pelajaran Mrs. Harper akan berakhir dalam 4 menit. Sebenarnya ia sudah pergi sejak pukul 2:17pm namun seluruh tugas yang ia berikan begitu keparat. Ini terlalu banyak, kau tahu? Belpun berbunyi saat aku mengumpat. Oh, see you home. Aku mulai berpikir mengenai hal yang akan aku lakukan saat aku di rumah. "Yael, aku akan pergi ke rumah Kurt. Apa kau mau ikut?" kata Jayden sambil berdiri. Tanpa sengaja aku menatap mata Griffen. Brengsek. Kenapa ia terlihat tidak suka? "Kurt akan pergi keluar sore ini." tiba-tiba Griffen menyergah jawabanku. Apa masalahnya, eh? Oh, aku lupa jika Kurt tinggal di rumah Griffen. "Seperti aku peduli terhadap hal itu? Griffen, aku hanya ingin menyembuhkan Kurt." jelas Jayden berbarengan dengan kemunculan Jericho di ambang pintu. Terlihat Griffen sedang berpikir keras dan melirik Jericho sesekali. "Mungkin Kurt akan membatalkan niatnya." sialan, ia benar-benar menyukai Jericho?

***



Rumah Griffen terletak di Lombars Street, cukup dekat bila kami pergi memakai kendaraan pribadi. "Hey, aku merasa gugup sekarang." mulut Jericho tiba-tiba terbuka. Mengapa ia dilahirkan menjadi anak yang tidak mau berhenti bicara? "Tentu saja. Kau bahkan belum berpengalaman." timpal Jayden. Mereka berdua terkekeh. Aku mengedarkan korneaku ke samping kiri, tampaklah wajah masam Griffen. Ia cemburu. "Jadi, ini dia." Jericho mengunci rem tangan mobilnya lalu membuka kunci pintunya. Well, aku berharap suatu saat aku akan pergi dating bersama orang yang lebih tampan dari Jericho. (A/n: maaf curhat hee ga sengaja :c)



Griffen membuka pintu utamanya lebar lalu mempersilakan kami masuk. Terlihat ada seorang wanita memakai celemek yang sudah sedikit kotor terkena noda makanan sedang berbicara pada Kurt. Ia adalah ibu Griffen--Harmony. "Griffy, kau membawa teman-temanmu?" tanyanya sambil mengangkat satu alisnya naik. Griffen hanya mengangguk. "Well, selamat datang. Aku sedang membuat satu kalkun panggang, jadi aku harus pergi." ucapnya lagi. Sejurus dengan ibunya, Griffen pun mempersilakan kami duduk. "Jayden. Oh. Aku tidak butuh diperiksa karena aku bukan seorang psikopat." Kurt memutar bola matanya lalu menghela napas. "Aku hanya ingin kau tidak merasakan trauma lagi, Kurt. Sungguh." Jayden pun menatap laki-laki bermata abu ini dalam. Aku heran, mengapa Jayden betah menatap mata Kurt? Seharusnya ia tahu, jika ia sedang ditatap oleh Mr. Alexander kecil ini berarti ia sedang diintimidasi.



















BACA
TERUS
YA
JANGAN
LUPA
VOTE
ATAU
COMMENT
READERS
TERCINTA
KU
EHEHEHE

She TroubledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang