Chapter 5

114 11 0
                                    

"Jangan pikirkan si jalang itu." tatapan Connor masih ada pada Griffen yang berjalan gontai menjauh dari kami. "Apa? Kau berbicara padaku?" kataku bingung, aku hanya memperhatikan Griffen, tidak dengan Connor. Laki-laki ini tergelak dengan pertanyaanku. "Well, aku pergi. Sampai jumpa." Connor memperlihatkan deretan giginya lengkap dengan kawat gigi yang menghiasinya. Aku terdiam, mataku tak bisa berhenti menatap jerawat-jerawat di wajahnya. Aku memaksakan sebuah senyuman padanya, lalu bergidik dan segera pergi ke rumah.

***



Tanganku memutar kenop pintu rumah setelah aku membuka kuncinya. Aku hendak menutup pintu saat Kenya datang dan menyapaku. "Yael." sapanya, lantas aku membukakan pintuku lebar. "Apa aku boleh menginap di sini? Dad sedang mengisi acara di beberapa gereja dan ia sedang mempersiapkan hari natal. Aku akan sangat frustasi bila aku sendirian di rumah." Kenya menggigit bibir bawahnya, ia juga memamerkan wajah memohonnya. "Ya, kau boleh." aku menyingkir, mempersilakan Kenya masuk dengan leluasa.


Gadis kutu buku ini langsung melompat ke sofa saat ia melihat remote televisiku yang tergeletak begitu saja. "Televisi ini menjadi milikku." Kenya mulai memencet tombol remotenya sementara aku beralih menuju kulkas untuk mendapatkan sekaleng minuman. "Ken, kau mau arizona atau coke?" teriakku dari dapur pada Kenya. "Eh? Apa kau bisa membuatkanku eggnog? Di luar sangat dingin." sialan, padahal eggnog tidak ada dalam pilihannya. Dengan malas, aku menutup kulkasku dan membuatkannya satu eggnog panas.



Aku kembali menuju ruang tengah dengan keadaan tangan yang penuh. Aku menyimpan mug berisi eggnog panas tadi di meja tepat di depan Kenya. Ia mengulas senyum, ia merasa senang karena pesanannya datang dengan cepat. "Lihat. Kasus pembunuhan yang mengerikan." Kenya menunjuk televisiku serius lalu mengambil mugnya. Ia sedang menonton channel CTV dengan program National Newsnya yang membuatku muak. "Aku akan menyalahkanmu apabila rasa eggnogmu tidak terasa seperti krim custard." tiba-tiba Kenya berbicara saat aku baru duduk di sofaku. "Apa perlu? Aku hanya membuatnya dengan telur kocok dan susu. Bagaimana bisa rasanya persis seperti krim custard?" aku mendengus. Mengapa ia begitu tak mau berhenti bicara?  "Aku tidak tahu, tapi bibi Amber selalu melakukannya dengan sempurna." persetan dengan eggnog buatan bibinya!



Beberapa menit kemudian, aku tidak sengaja melihat Kenya melepas remotenya. Ia sedang lengah. Segera, aku mengambil remote itu lalu mengalihkan programnya ke Take a Chance. Roy terlihat begitu keren dari pada si newscaster Llyod Robertson itu. "Yael, kembalikan pada acaraku!" pekik Kenya. Wajahnya yang memerah tampak sangat menggelikan untukku. "Ken, bagaimana kalau kita memutar film yang sama-sama kita sukai? Sungguh, berbagi itu tidak begitu enak." ucapku disela tawa yang membludak keluar menertawakan ekspresi Kenya. "Aku menyukai film dengan genre horror." kata Kenya cepat. Aku berpikir untuk saran film yang akan aku katakan. "The Exorcist. Biar kuambilkan kasetnya." aku beranjak dan pergi ke kamar untuk mengambilnya.



"Bagaimana alurnya?" tanya Kenya saat aku baru saja keluar dari kamar. Aku menyodorkan kaset itu lalu Kenya pun mengambilnya. "Aku belum menonton film ini." aku menggidikan bahuku. Gadis itu mendesis meremehkan, lantas ia memutar film tersebut tanpa instruksi.



Kami menatap televisiku, menunggu film itu dimulai. "Di mana tempat shootingnya? Tempatnya seperti Saudi Arabia, tapi--apa itu di Iran?" aku menoleh pada Kenya, film ini sungguh membingungkan. Aku justru terkejut saat mendengar suara adzan. Padahal menurut penjual kasetnya ini film Amerika. "Tutup mulutmu. Ini bahkan baru dimulai." Kenya menjawab pertanyaanku itu tanpa menoleh. Sialan. Aku kembali memfokuskan pikiranku lagi dengan filmnya. Aku berani bersumpah, film ini akan menguras otakku.



Satu jam berlalu dan pikiranku masih bercampur aduk dengan film ini. Aku bahkan beberapa kali ikut mendesah kegelian karena Regan--pemeran utama, memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Wajah lucunya pun berubah menjadi sangat mengerikan karena dirasuki hantu. Scenenya bergulir, ada dua orang pastur yang memasuki kamar Regan. "Bapak tua itu akan mati." kataku spontan. Ini adalah bagian yang mudah ditebak. "Pria itu pun, kurasa. Ia krisis kepercayaan pada agamanya sendiri." lagi, aku berkomentar dan Kenya tetap diam. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku terperanjat karena kaget. Dengan cepat, aku mengambil ponselku yang tadi aku simpan di saku jeansku.



Nama dad tertera jelas di layar, ia telah meninggalkan satu pesan untukku. "Aku akan mengunjungimu lagi besok sore. Lol, aku merindukanmu, hun." mataku berputar. "Ya. Bawakan aku poutine yang lezat." aku membalas pesan singkatnya lalu melihat film itu lagi. "Benar kataku, pastur tua itu mati." aku bersorak saat scene Mr. Merrin menjatuhkan dirinya ke jendela. Mayatnya begitu mengenaskan. Sungguh, film ini membuatku mual. Kenya menghembuskan napasnya kasar. Ia masih saja menikmati The Exorcist walaupun di bagian omong kosongnya. "Yael, aku mulai berpikir untuk bisa melihat hantu. Ini akan keren bila semua warga sekolah tahu. Sialan, aku benar-benar penasaran."



Kenya tiba-tiba mengatakan hal itu saat aku hendak pergi ke dapur untuk membuang kaleng arizonaku yang sudah aku remukkan. Mataku memicing, aku heran padanya. "Kau bahkan takut pada psikopat baik seperti Kurt." aku memang meremehkannya. Dia terdengar begitu sombong dengan ucapannya. Kenya malah mendelik ke arahku dengan tatapan tidak suka. "Tapi aku hanya ingin melihat hantu." katanya, ia bersikeras untuk bisa melihat makhluk ghaib itu. "Well, aku mempunyai ritual pemanggil hantu. Tapi kebanyakan orang mempunyai pendapat bahwa ini akan sangat menyeramkan." aku mengambil ponselku lalu memperlihatkan hasil screenshootku siang tadi. "Ayo lakukan! Ini sangat mudah!"




Kami pun berpencar mencari kain perca, beberapa butir beras, mug, dan tak lupa pisau. Aku hanya mendapatkan kain perca di gudang. Saat aku keluar, Kenya sudah siap dengan peralatan lain. Ia tersenyum menyeringai ke arahku, lalu pergi menuju kamar mandi. "Apa kita akan melakukan hal ini?" aku berjalan mendekati Kenya dan berharap supaya ia membatalkan niatnya itu. Sialan, ia mengangguk. Lantas aku masuk ke ruangan sempit ini dan Kenya mulai memutar krannya agar menyala. Ia juga menyumbat pembuangan airku. "Ken, airnya sudah penuh. Bahkan luber." aku mendesis, keadaan di sini sudah sangat menyeramkan. Lagi, Kenya tersenyum miring dan mematikan lampunya. Aku meloncat kaget, tapi beruntung Kenya tak dapat melihatku dalam gelap. "Mari kita mulai."























Woi terkutuk ni wattpad:( padahal udh ngetik 900+word malah ilang. Tp untung ya masi inget bagian2nya wkwk jd ga cape buat re-write wkwk. Btw thank you yg udh ngevote kemarin! Walaupun 1 but u make me fucking happy gezzz!!!

Note: tap the star and write something in the comment box.

A picture of Justice Carradine as Kurt Alexander is available on multimedia. Edan guysss, liat coverannua yg I wont Mind (original by Zayn Malik) aaaaaah, kaya sengaja nyanyi buat aku tau:")

[Budayakan Vote/Comment karena itu adalah salah satu dari kebiasaan baik dalam menghargai seseorang(?):v] THANK YOU HONEEEEEY...

She TroubledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang