Chapter 8

76 11 1
                                    

Menurut George Everdeen, perempuan belia berumur 15 tahun itu sengaja dibunuh oleh seseorang. Ada bekas sidik jari di pisau yang tempo hari ia temukan. Sayangnya, sidik jari orang tersebut sulit dikenali dan aneh. Ia juga sempat mengintrogasi teman Kenya--korban, YM. Gadis itu berkata bahwa Kenya mati bukan karena dibunuh. "Kupikir anak-anak memang senang berimajinasi. Walaupun YM sudah bersekolah di High School, tetap saja. Ia masih siswi kelas 9." papar George saat diwawancarai pada pertemuan pers bersama wartawan di Downtown Toronto Hall. (a/n: ini ngarang hehe) "Perlu kalian ketahui, bahwa Kenya disiksa terlebih dahulu sebelum pembunuh itu menghujamkan pisaunya." lanjut George. (12/11/2015) Toronto's News.



Otakku bekerja lebih keras sekarang. Ini begitu aneh. Aku sangat menyayangkan jika polisi-polisi itu tidak mempercayaiku. Mereka bodoh. Ini tentu saja membuatku muak. Kenya tidak dibunuh. "Kenya adalah anak yang baik. Semoga kehidupan yang ia jalani sekarang jauh lebih damai." ucap ibuku. Aku menoleh dan mendapati wanita itu sedang menyimpan tiga cangkir kopi dan beberapa potong roti panggang. Aku bergegas mengambil kopi panasnya karena aku sudah tidak tahan dengan suhu Toronto hari ini. Bayangkan saja, aku berada di luar ruangan untuk upacara pengkremasian Kenya dengan suhu 7 derajat. Ditambah dengan cuaca yang mendung dan angin yang kencang.



Dad hanya mengulas senyumnya saat aku meringkuk di tengahnya dan mom. Aku pun menyeruput kopinya sedikit lalu fokus pada film Take a Chance lagi. Kau tahu? Duduk di antara mom dan dad adalah salah satu family goal yang jarang sekali aku dapatkan. Ayahku sering pergi ke luar kota untuk menyelesaikan bisnisnya. Sedangkan ibu lebih sering meninggalkanku untuk pergi ke grocery store untuk mendapatkan bahan makanan baru. Ia senang sekali bereksperimen hal-hal yang baru ia temui. Aku hidup seperti itu dari aku duduk di bangku Public School sampai aku lulus. Tidak ada perubahan, kau tahu? Kecuali saat aku tinggal di Montreal bersama Katniss dan Orlando.



Sebenarnya aku memiliki seorang kakak. Ia bernama Kian. Umur kami terpaut cukup jauh. Ia pergi ke New York saat aku berusia 11 tahun. Kian akan melanjutkan studinya di sana. Aku heran, setelah aku berumur 13 tahun dan aku menghadiri wisuda Magister Degreenya, ia tetap tidak mau kembali ke Montreal. Ia lebih memilih untuk bekerja di kota itu dan meninggalkan kami. Entahlah, Kian adalah orang yang paling tertutup di keluarga kami. Ia bersifat sangat dingin pada orang lain, tak terkecuali aku dan ayah ibuku. Ia hanya akan bicara pada orangtuanya. Persetan dengan Kian. Kenya juga tidak pernah tahu soal Kian. Begitupun dengan semua temanku di High School. Omong-omong soal Kian, terakhir ia menghubungiku 5 minggu lalu. Ia hanya mengucapkan "Yael, I might go back to Montreal next year. But sorry, I ain't take a promise at this." sialan. Aku pun tidak membalasnya karena aku muak.

***





One week later...
Ayah dan ibuku sudah kembali ke Montreal beberapa hari lalu. Aku juga mulai sibuk dengan kegiatan sekolahku lagi. Ini membuatku ingin muntah, kau tahu? Aku hampir tidak pernah keluar rumah sejak hari kematian Kenya. Aku sering mengunci diri di kamar, memutar video yang kubuat bersama Kenya, melihat foto kami saat halloween, juga membaca pesan singkat yang terakhir Kenya kirimkan untukku. Ironis memang. Caitlin sempat mengajakku pergi ke amusement park di tengah kota, tapi aku menolaknya. Jayden bahkan sering mengirimiku pesan "Are you okay? Let's meet up at Fahrenheit Coffee at 4pm." aku sengaja tidak membalas, karena aku memang tidak ingin bertemu dengan siapapun.



Hari ini aku bersiap untuk pergi ke sekolah. Ini hari Jumat dan aku harus memakai seragam sekolah yang sedikit menggelikan. Aku memutar bola mataku dan melihat pantulan diriku di kaca. Aku tidak pucat sama sekali. Hanya saja aku memiliki kantung mata yang besar karena kurang tidur. Lantas aku mengambil tas di atas kasur dan pergi menuju sekolah. Kau tahu? Hari ini aku mendapat kabar bahwa bus sekolah sedang mogok. Itu artinya aku harus pergi ke halte untuk menaiki TTC. Aku menghela napas panjang saat aku berada di antrean terakhir pengecekan pass. Aku memang tidak akan terlambat. Ini bahkan baru pukul 8:37am.



Setelah monthly passku diperiksa, aku langsung menuju bus dan memilih tempat duduk. Perjalanannya akan sedikit lama kurasa. Bagaimana tidak? Aku tidak punya teman mengobrol di sini. Beberapa menit kemudian seseorang duduk di sebelahku. Aku menoleh untuk memastikan gendernya. (A/n: memastikan gender pan hm) Sialan, sialan, sialan. Itu Griffen! Aku mendesah malas, ia pun menoleh. "Oh? Sepertinya aku salah menduduki kursi." Griffen mengangkat satu alisnya naik dan sebutlah dia keparat. Aku hanya diam, aku mulai membencinya saat ia sering menolak untuk kuajak berteman.



Three months ago...
"Namamu Griffen? Aku Yael." ucapku sambil mengulas senyum. Aku berusaha untuk bersikap ramah pada orang ini. Kupikir ia selalu sendirian, jadi aku memutuskan untuk berteman dengannya. Yang ditanya malah diam, ia hanya menatapku datar dan satu alisnya terangkat seolah berkata 'Kalau ya memangnya mengapa?'. Jujur saja, aku sudah muak padanya tapi apa boleh buat? Aku pindahan dari Montreal dan tidak mempunyai teman di sini. "Jadi, apa yang kau sukai?" tanyaku masih gigih untuk berteman dengan perempuan pirang ini. Ia mendelik tajam ke arahku, "Aku adalah Griffen Campbell. Aku tidak menyukai banyak hal, termasuk kau. Dan hal yang aku sukai tidak ada."



Bedebah. Aku ingat kejadian itu lagi. Dapat kau bayangkan betapa keparatnya Griffen, kan? "Sahabatmu mati?" Griffen tersenyum miring ke arahku. Sekarang aku bingung harus menjawab apa. "Kau tahu, ini semua salahmu. Bila saja kau melarangnya bermain knife event, ini tentu tidak akan terjadi." ia memalingkan wajahnya ke depan. Tunggu, Griffen tahu? "Aku tidak mengerti." kataku berpura-pura tidak mengetahui semuanya. Padahal jelas-jelas ini masalahku. Tentu saja aku payah dalam hal berbohong. "Yael, dengan adanya masalah ini, kau sudah menjadi penyebab kematian Kenya. Oh, Kenya. Dia adalah gadis malang." sekarang Griffen menampakkan wajah simpatinya yang hanya akting. Sementara aku diam. Sialan kau, Griffen.



















Update cepetkannnn? Udh ga uas ni wkwk. Eh bnran deh ya vote/komenan kalian tuh ga bakal ngaruh ama cerita ini. Maksudnya ya aku bakal ttp next asal readersnya ada terus wkwk.

Note: kan yg vote tuh bagaikan org peduli dan yg ga vote kebalikannya(?) Mau pilih yg mana?.-.

A picture of Matthew Espinosa as Jericho Alln is available on multimedia. Part cogan satu ini kalo ga di chapter 9 ya di chapter 10. So KEEP STAY TUNED. I LOVE YOU ALL......

WITH LOVE,
BRYSON'S WIFE HEHE

She TroubledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang