Chapter 16

51 11 0
                                    

Yael's Point of View
Akan membosankan bila aku pulang tepat saat ini juga, masih pukul 11 siang. Lalu aku pun melangkahkan kakiku menjauh dari satu toko yang membuat moodku turun. Aku tak bisa menceritakannya karena hal itu terlalu tidak berguna.


Tiba-tiba ponselku berdering. Lantas aku mengambilnya dan mendapati sebuah pesan dari Jayden. "Kau bosan, ya? Aku, Kurt, Griffen, dan Jericho ada di Xawaash. Berniat untuk gabung?" tanpa pikir panjang, aku segera membalas pesannya dengan 'ya' kemudian pergi ke halte bus paling dekat.

***



Kornea mataku bergerak ke sana ke mari mencari Jayden dan yang lainnya. Well, sebenarnya aku sedikit malas karena ada Griffen di dalam. Tapi apa boleh buat? Aku sudah lapar dan sepertinya satu dari tiga temanku itu akan membayariku makanan? Hey, kau bilang temanku 4? Maaf, tapi Griffen tidak aku hitung.


Akhirnya mataku menangkap seseorang yang tengah melambaikan satu tangannya di tengah ruangan. Aku pun berjalan setelah meneliti ulang bahwa dia adalah temanku. Dan benar saja, itu Jayden. Saat aku mendekat, 3 porsi Kanada Ya dan 1 porsi Herman ze German sudah siap dimakan. Aku diam sebentar, menunggu seseorang mempersilakanku duduk.


"Duduklah, Yael. Kau tahu, Jericho sudah menyiapkan satu kursi kosong untukmu." kata Kurt sambil menepuk satu kursi tepat di sebelahnya sementara Jericho hanya tersenyum. Akhirnya aku duduk diapit oleh Kurt dan Jayden. "Rupanya kalian menyukai makanan Eropa, eh?" celetuk mulut besarku sambil duduk. Mereka pun terkekeh, kecuali Griffen. "Kau butuh apa?" tanya Jericho pelan, tapi kami berempat dapat mendengarnya. "Kau bertanya padaku?" aku mengangkat satu alisku dan Kurt serta Jayden tertawa, kecuali Griffen. Aku tahu dia cemburu.


Jericho hanya menghela napas dan aku yakin ia tengah bertanya padaku tadi. Aku berpikir sejenak. Sialan, aku 'kan tidak tahu makanan Eropa! "Apa lasagna ada di sini?" tanyaku sedikit kikuk. "Oh, ayolah. Ini bukan restoran Eropa. Kurasa pesanan itu akan cepat tersaji di sini." jelas Jayden sambil memutar bola mata coklatnya. Aku terkekeh pelan dan Jericho beranjak pergi. Dia akan memesankan aku lasagna, mungkin?


Saat kami sibuk makan siang, tiba-tiba Kurt membersihkan mulutnya dengan celemek kecil di atas pahanya. Padahal makanananya baru habis setengah. "Hey, kau bilang kau ingin menceritakanku banyak riddle!" seru Kurt lalu meneguk yerba matènya. "Oh baiklah, tapi apa perlu aku menceritakannya saat makan siang?" Jericho pun meneguk minumannya lalu menatap Kurt. Laki-laki keturunan Amerika Selatan---Kurt itu mendengus. "Maka percepat acara makanmu."


Seusai berkutat dengan makanan masing-masing, Kurt langsung menagih cerita riddle pada Jericho. Yang ditagih pun hanya bisa menghela napasnya. "Ada dua orang mahasiswa fakultas kedokteran yang tinggal satu kamar sedang kerepotan dengan tes autopsinya. Tapi Emileigh---salah satu dari dua orang itu mendapatkan nilai sempurna. Maka dari itu ia sangat berterima kasih pada Zoella, teman satu kamarnya yang diklaim telah membantunya tes saat itu. Jadi Em hanya bisa bergumam, RIP Zoe. Terima kasih. Apa yang janggal?"


Tampak Kurt sedang berpikir keras, "Uh? Mungkin Zoella itu hantu yang telah lulus tahun lalu?" katanya. "Jawabanmu lebih mirip pertanyaan, bodoh." timpal Griffen lalu semuanya tertawa. Kurt memutar bola mata, "Lalu mengapa?" Jericho yang baru saja lepas dari gelak tawanya langsung memasang wajah serius. "Jawaban tepatnya adalah, Emileigh membunuh temannya---Zoella. Lalu ia menggunakan mayatnya sebagai bahan autopsi." jelas laki-laki mirip dengan Justin Bieber itu.


Percakapan sialan itu terus berlangsung sampai jarum jam menunjuk angka 1:26. Aku merasa bosan dan aku harus segera pulang. "Oke, cukup. Aku punya banyak sekali piring kotor dan aku harus segera mencucinya." dustaku. "Lalu apa maumu?" timpal Griffen dengan wajah datarnya. "Pulang. Da-ah." aku meraih barang-barangku lalu pergi.

***




Derth's Point of View
Setelah lelah membeli pisau dan berjalan-jalan, aku langsung pergi ke rumah. Saat kubuka kenopnya, keadaan rumah masih sama---rapi. Aku tidak suka membereskan ruangan, jadi aku sengaja tidak membuat semuanya berantakan.

Lantas kurebahkan badanku di sofa yang terletak di ruang televisi. Gez, ini seperti titik favoritku setelah kasur! Lalu kubuka belajaanku dan tampaklah dua pisau itu. Pertama, Columbia USA Saber A16. Aku memperhatikan bentuknya dengan detail. Ukurannya sedang, gagang coklat hitamnya bahkan pas di tanganku. Ujung runcingnya juga tidak panjang, tapi cukup tajam. Ini akan berguna sekali jika sewaktu-waktu aku ingin mengoyak perut korbanku.


Kedua, Rambo Survival Knife. Gagangnya berwarna hitam legam juga pas dalam genggamanku. Stainless tajamnya panjang dan bagian atasnya bergerigi. Aku bisa menembus jantung korbanku kalau begini. Ujung yang lainnya bisa kugunakan untuk mencincang daging korbanku menjadi hampir bubuk. Mulutku mulai menyeringai sekarang. Aku akan butuh korban malam ini dan besok sampai dua hari ke depan aku bisa libur membunuh.


Otakku sudah berpikiran jauh sekarang. Bagaimana bila aku ditangkap polisi dan aku tidak begitu kuat? Aku memang pernah ikut khursus karate tapi hasilnya tidak sempurna. Aku hanya ahli dalam menendang. Tidak dalam hal lain. Tapi oh, aku ingat jika aku pernah mematahkan tulang mantan temanku. Ya, mereka menjauhiku karena aku tidak punya orangtua lagi. Mereka hanyalah sampah. Maka dari itu aku mulai liar untuk menyakiti mereka, meskipun tidak membunuh.


Aku harus kuat. Kemudian aku pergi ke dapur untuk mengambil paring knife yang selalu kupakai untuk membuat ciri karyaku. Aku kembali ke sofa dan mulai menggoreskan pisau itu ke tangan kiriku. Awalnya sakit, namun lama-kelamaan jadi perih. Aku mencoba untuk membiasakan diriku dengan perihnya. Ayolah, ini tidak seperih seperti saat aku dan---oh sudahlah lupakan gadis itu.


Karena merasa perlu lebih tahan sakit, aku pergi lagi ke dapur untuk mengambil pisau biasa. Aku juga tak lupa untuk mengambil silet di nakas. Setelah kembali ke sofa, aku mulai menggoreskan pisauku di tangan sedikit dalam. Aku sedikit meringis tapi percayalah, aku lebih kuat dari pada tadi.


Puas melakukannya dengan pisau, kini beralih pada silet. Aku mengambilnya dan hey! Aku berani membenamkan siletnya sebagian! Darah segar yang keluar juga lebih banyak dari pada permaninan tadi. Oh, sialan. Aku jadi ingin segera mencoba pisau baruku dan melihat darah mengalir bahkan memancar saat kupotong nadi korbanku.


Samar, kudengar suara ponselku bersuara, berkicau tidak jelas dengan ringtone yang tidak aku sukai. Aku mencari ponsel yang sialannya tiada tara itu (a/n: boong pdhal hp itu pelengkap idup loh) dan melihat nama orang yang sebenarnya malas aku sebutkan namanya itu di layar. Aku bahkan sempat bergerutu sebelum mengangkat telpon darinya. "Halo?"



TO BE CONTINUED...

She TroubledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang