Kelas siang itu sungguh membosankan untuk Ghazi.
Mungkin karena cowok itu sudah mempelajari materi yang tengah disajikan guru. Atau karna pikiran Ghazi tidak bisa diajak fokus. Ia memang sedang semrawut karna makhluk menyebalkan bernama Rizky.
Sudah tiga hari Rizky menghabiskan minggu ini di luar negeri, London tepatnya.
Cowok itu mengagetkannya saat mengatakan kalau dirinya akan pindah. Tapi setelah diperjelas, ternyata Rizky hanya pergi berapa hari untuk pernikahan abangnya yang duta besar diluar negeri.
Ghazi meringis, mengingat kembali bagaimana reaksinya saat itu. Napasnya tertahan dan dadanya sedikit sakit.
Mungkin bocah itu sudah banyak membekas pada Ghazi. Karna perasaan kaget seperti itu sukar ia rasakan, terlebih setelah wafatnya almarhum ayah.
Lagipula Ghazi tidak bodoh. Ia mengerti betul gejolak perasaan dihidupnya sudah lama datar. Kalau ada bukit atau lembah dalam kurva emosi Ghazi, itu hanya pada saat tertentu yang jarang.
Petenis itu merasakan getaran pada saku celananya. Mengeluarkan ponsel yang bergetar terus. Nama LINE Rizky terpampang pada smartphone Ghazi.
Rizky [Iki]
Zi, karna gue baik, nih foto selfie buat nemenin lo yang kerjanya sendiri mulu 8.43Setelah itu getaran terus berlanjut dengan judul notifikasi : 'Rizky [Iki] mengirim foto'.
Ghazi tidak bisa menahan senyum kecil yang terbit di wajahnya. Tidak susah payah membalas pesan iseng Rizky.
"Zi, lo kenapa?"
Cowok yang dipanggil sedikit tersentak dan kembali memasang ekspresi langganannya, datar. Mengalihkan perhatiannya dari ponsel pada teman satu mejanya.
"Nggak kenapa-napa."
Dicky melirik guru didepan, membuat salah satu alis Ghazi naik. Bu Epi model guru yang lembek, tidak ada gunanya si ketua kelas merasa khawatir.
"Lo senyum sendiri sambil ngeliatin hp,"-Ketua kelas mendekat dan makin berbisik-"Lo kena pelet atau dapat pacar?"
Ghazi harus menahan diri untuk mengeluarkan makian yang terlalu tajam melalui mulutnya. "Gue pikir lo nggak akan ketularan bego-nya cowok-cowok kelas, ternyata gue salah."
Mungkin karena sudah biasa di bully siswa karena mukanya yang terkesan lugu, Dicky tampak tak terpengaruh oleh perkataan Ghazi. "Abis gue penasaran. Seorang Ghazi Agustamel tersenyum lembut itu ibarat satwa langka."
Ghazi agak dongkol disamakan dengan binatang, tapi sejujurnya ia tidak bisa marah pada ketua kelas. Bukan karna wajah inosennya, atau kemampuannya untuk melemparkan puppy eyes paling maut yang pernah Ghazi temukan. Alasannya lebih sederhana; Ghazi malas kena amuk. Ia kasihan dengan kupingnya yang akan teraniaya suara melengking siswi kelas.
"Jadi lo lagi ngobrol sama siapa di LINE?"
"Rizky kelas XI IPS 3"
Senyum Dicky mengembang. "Oh, akhirnya usaha Iki selama ini terbayar ya."
Ghazi mengangkat salah satu alisnya. Tak perlu membuang waktu membuka mulut, ketua kelas memperjelas maksudnya. "Iki kan udah berusaha jadi temen lo sejak kelas satu," Dicky menopang wajahnya, arah pandang masih pada teman satu mejanya.
"Gue yang dari smp satu kelas ama lo aja masih nggak digubris, jadi tadinya gue pikir sia-sia si Iki tiap istirahat dateng ke kelas."
Kalau dipikir-pikir sejak kapan Ghazi membiarkan cowok itu masuk ke daftar singkat orang yang signifikan di kehidupannya. Petenis itu menyandarkan tubuhnya pada kursi dan berpikir sejenak. "Cowok itu kayak lalat sih." Ghazi mengernyit, sepertinya bukan analogi yang tepat untuk sosok Rizky Al Hudzaify. Tapi Ghazi sendiri masih rancu dengan makhluk yang satu itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANTONIM [bxb]
Teen FictionRizky Al Hudzaify, seorang anak IPS yang impulsif dan kacau, menyukai makanan pedas ala Indonesia, tidak pandai berkonsentrasi, suka memotong ucapan orang, lasak, dungu, Tukang ikut campur urusan orang. Semua yang berlawanan sekaligus dibenci...