Jendela dan Pintu

5K 575 26
                                    

Rizky membenamkan diri dalam kursi. Pesawat membuatnya mual-hampir setiap alat transportasi berjalan membuatnya mual-tapi pesawat mendapat peringkat teratas pada daftar kendaraan yang ia benci. Remaja itu menggeliat, masih berjuang untuk menutup mata dan berusaha tidur. Tapi suara bising di kedua sisi membuat Rizky terjaga.

"Ma..."-Rizky berbisik pada kursi depan-"Tukeran kursi dong, Bang Tio sama Bang Alif ngorok-nya nggak tanggung-tanggung. Kiki nggak kuat ma, nggak kuat."

Ibu dengan empat anak laki-laki itu tertawa ringan. "Mama nggak bisa berdiri Ki, papa bobok-nya senderan sama mama. Kiki yang tabah aja."

Rizky kembali merebahkan diri pada kursi-nya. Tepat dengan jatuhnya kepala Bang Alif pada bahu Rizky. Remaja itu menatap nanar sosok yang jauh lebih besar. Terkutuklah Bang Alif dan badan raksasa-nya. Rizky yakin bahu nya akan mati rasa nanti. Terlebih ia masih lemas karna belum juga sembuh dari flu-nya. Setidaknya Rizky sudah muntah, jadi merasa lega.

Seniman itu melirik jendela, mendapati langit malam hari yang pekat. Pemandangan dari atas memang indah, tapi Rizky lebih senang melihat bulan di langit tak berbintang dari bawah sana.

Rizky rindu tanah.

.

.

"Jadi gimana kabar Iki? Gue denger dia sakit." pernyataan ketua kelas ibarat hoax-nya berita Roma Irama meninggal karna ditusuk pisau; mengejutkan, menjengkelkan, dan bikin bad mood.

"Iki tuh Rizky yang pinter gambar kan? yang shota banget itu?" Suara nyaring Fahri datang dari kanan Ghazi.

"Ngaca dong far,"-Kini dari kiri Ghazi-"Lo kali yang shota-nya nggak kira-kira!"

"E-Enak aja! Gue kan berandalan! Berandal enggak manis!"

Dan pertengkaran tentang yang mana lebih shota terus berlanjut. Dua suara bising itu terus masuk dengan ganas nya ke kuping Ghazi. Membuatnya agak dongkol tapi tetap diam saja.

Kelas sedang pelajaran Olahraga, voli tepatnya. Pemain-pemain andalan perempuan kelas XI IPA 4 tengah berhapan dengan kakak-kakak kelas perempuan, sepertinya dari kelas XII IPS 2 karna Ghazi melihat senior dari ekstrakulikuler tenis yang ia kenal. Sementara siswa menunggu di ujung lapangan. Ketua kelas dengan santainya menyandarkan badan pada Ghazi saat ia baru duduk bersilang. Fahri ikut-ikut beberapa detik setelahnya, menemukan tempatnya di paha Ghazi. Menghapus fakta bahwa kupingnya serasa akan pecah dan kakinya kesemutan, melihat dua cowok manis bertengkar cukup menarik.

Sayangnya, Ghazi harus mengonfirmasi apa yang ia dengar. "Tunggu, ketua kelas tahu darimana Rizky sakit?" yang ia tahu, Rizky belum pulang dari Inggris.

Dicky menghentikan pertengkaran sia-sia nya dengan makhluk keras kepala yang pintar-pintar bodoh. "Dari temen gue yang kelas IPS, lo nggak tahu?"

Ghazi menggeleng dengan kerutan di dahi. Sial, kenapa bocah itu tak memberitahunya?

"Lo kayaknya kesel banget Zi? Sedih karna Iki nggak kabarin lo duluan ya?" Fahri menyeloteh asal dengan senyum iseng.

Ghazi terdiam. Bocah itu biasanya mudah ditemukan karna selalu berada di sampingnya, jadi hal seperti berkabar, belum pernah terpikir sebelumnya. Lagipula Rizky jarang sekali sakit lama-lama, biasanya saat tampak gejala atau sinusitis-nya kambuh, ia akan langsung minum obat.

"Gue nggak peduli soal begituan," Ghazi berbohong, "Nanti gue jenguk lah."

Fahri mengangkat alis heran, "Iki pakai guna-guna apa sampe lo yang biasanya enggak acuh jadi peduli amat?" satu kepalan tangan mendarat di kepala Fahri dengan brutalnya. Pemuda itu mengaduh kesakitan, "Nggak kira-kira lo Zi! Gue kan bercanda."

ANTONIM [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang