Hari ini minggu, dan Ghazi menepati janjinya. Cowok itu sudah ada di depan pintu rumah Rizky sejak jam sembilan pagi. Ngedumel di depan kasur Rizky, dan pemiliknya yang masih asik tidur. Lengkap dengan air liur dan dengkuran halus.
Seingatnya, Rizky yang mewanti-wanti Ghazi untuk datang jam sembilan tepat. Karena manusia otak monyet itu sudah menyiapkan film untuk movie marathon.
"Cih. Apanya yang harus tepat waktu."
Tahu gini, Ghazi lebih baik menghabiskan pagi dengan tidur. Atau berlatih tenis di lapangan yang agak jauh dari kosan ketua kelas. Tunggu, mungkin mengumpulkan foto Rizky sedang tertidur lebih menyenangkan. Ah, ia terdengar seperti penguntit.
Keluarga Al-Hudzaify pergi beberapa saat lalu, meninggalkan Ghazi dengan kunci rumah dan beberapa makanan kecil sisa bulan ini. Mereka pergi belanja bulanan. Dan Ghazi masih ingat cara Papa Rizky menatapnya tajam, lalu mengancam dengan seram. Ghazi merinding, mungkin ia akan mengambil beberapa foto dan ngemil di bawah. Jujur saja, ia lumayan takut pada Papa Rizky.
Petenis itu baru akan mengeluarkan ponselnya saat suara gumaman menginterupsi. Khas orang yang baru tersadar dari mimpinya. Ghazi mengurungkan niatnya dan duduk di ujung tempat tidur. Disebelah sosok Rizky yang mengerjap ngantuk, masih dengan guling di pelukannya.Ghazi hanya memperhatikan, tertawa kecil saat cowok kesayangannya mengernyit pada tangan Ghazi. Masih belum bisa mengumpulkan cukup banyak kesadaran untuk tahu bahwa itu Ghazi. Kemudian pandangan mata Rizky naik, kali ini bertemu dengan manik coklat nyaris hitam milik Ghazi.
"Udah sadar?" Ghazi bertanya ringan. Melemparkan seringai kasual seperti biasa.
Cowok IPS itu tidak membalas. Tapi ujung bibirnya naik, membentuk satu senyum manis. Membuat mata Rizky menyipit dengan lucu. Bukan cengiran bodoh seperti biasa, itu senyum ngantuk yang jauh lebih menggemaskan.
Duh, Ghazi sampai kaget. Sejak kapan si monyet jadi begini manis?
Petenis itu buru-buru mencubit hidung Rizky, menutup pandangannya. "Lo masih belum sadar ya?" Ghazi tak bisa membiarkan cowok itu melihatnya merona. Bisa gawat kalau ia makin salah tingkah.
Rizky terbelalak, apa cubitan seorang atlit begini brutal?! "Hmpf- Lepas ah, Zi!"
Ghazi menurut, melepas tawa hanya untuk menutupi kegugupannya. Ghazi memang orang yang tenang, tapi tidak kalau dengan Rizky. Terutama setelah ia menyadari perasaannya. Hanya saja, Ghazi lihai dalam menyembunyikan.
Mungkin Rizky sedang ingin mengetes kesabaran Ghazi, atau sekedar iseng. Tapi saat petenis itu beranjak untuk turun, kekasihnya menghentikan. Dengan memeluk Ghazi, dan bergelantungan di sana. Lalu menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Parahnya, tangan Rizky berada tepat di jantungnya. Dan kaos Ghazi saat ini cukup tipis. Oh, si monyet akan mendengarnya sekarang.
"Zi, lo sakit jantung?" tanya Rizky masih dengan suara serak.
"... Enggak, nyet. Lo mau apa gelantungan di badan gue?"
"Tolong bikinin susu dong, gue mau mandi dulu soalnya."
Ghazi mengangguk. Menoyor kepala Rizky untuk menjauh. Untungnya seniman itu tidak menyinggung apa-apa soal Ghazi lagi. Hanya berdiri dan masuk ke kamar mandi-nya. Dan Ghazi bersyukur atas itu.
.
.
.
"Zi, lo beneran sakit jantung nggak sih?"
Ghazi mendengus sebal. Tadinya ia kira Rizky akan meninggalkan topik itu. Walaupun petenis itu tahu Rizky tipe orang yang suka memikirkan hal kecil. Lalu menelantarkan hal yang benar-benar penting, seperti tugas kelompok dan materi pelajaran.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANTONIM [bxb]
Teen FictionRizky Al Hudzaify, seorang anak IPS yang impulsif dan kacau, menyukai makanan pedas ala Indonesia, tidak pandai berkonsentrasi, suka memotong ucapan orang, lasak, dungu, Tukang ikut campur urusan orang. Semua yang berlawanan sekaligus dibenci...