Lari

4.1K 377 18
                                    

Saat ini Rizky merasa sedang berada di puncak kebahagiaan.

Bersama Ghazi membuatnya seperti remaja alay yang baru pertama kali merasakan sayang. Terkadang ia bergidik geli saat menyadari tingkahnya sendiri.

Rizky memang pernah pacaran dengan Raka. Tapi sejujurnya, hubungan saat itu terasa palsu dan hampa. Seperti kebohongan. Hanya untuk melampiaskan sedihnya dari kenyataan tentang Ilham.

Jadi kali ini, ia merasa benar-benar girang. Rizky jadi alay. Kampungan. Dan demi apapun, ia jadi makin lengket dan ketagihan sama Ghazi. Walaupun ia nggak nempel lagi didepan orang banyak, tapi Rizky jadi manja disaat sepi.

Sejujurnya sih Ghazi senang saja, toh dia yang diuntungkan karena bisa lihat Rizky terus. Masalahnya, situasi ini seperti antara surga dan neraka. Ghazi takut ia tak bisa menahan nantinya, ia memang sayang Rizky. Lebih dari manusia manapun, tapi saat ini mereka masih SMA. Belum dewasa. Ia takut kebablasan. Kelewatan.

Terlebih, mereka juga belum memberitahu orangtua mereka. Kalau Ghazi sih nggak masalah. Tapi orangtua Rizky itu protektif terhadap anaknya. Ghazi pernah memberanikan diri bertanya pada Rizky, soal hubungannya dengan Raka. Cowok IPS itu bilang, seluruh anggota keluarga mengawasi Raka dengan ketat. Walaupun tidak ada protes, tapi kakak kelas itu sempat disidang.

Namun Rizky terus menguji kesabarannya, seperti saat ini. Ghazi tengah tidur di kamarnya setelah pulang sekolah. Lalu Rizky masuk dan membangunkan Ghazi, cowok itu ndusel ke dada Ghazi. Makin hari, Rizky makin manja saja.

Reflek, petenis itu menyampirkan tangannya ke badan Rizky. "Katanya lo main sama Nita?" Suara Ghazi serak. Diliriknya jam di dinding. Ini sudah dua jam sejak ia tertidur.

Rizky masih betah. Bahkan kakinya sudah melilit Ghazi.

"Gue minta Nita ngantar ke sini. Katanya Bang Thiya mau jemput, tapi gue maunya pulang sama lo."

"Kenapa?" Ghazi bertanya singkat.

Sebenarnya, petenis itu sedang fokus pada hal lain. Fokus menahan juniornya untuk tidak bangun saat ini.

"Tadi Nita sempet ngomong perihal Almarhum Ilham."

Ghazi menegang disana. Mendengar nama itu Ghazi agak keki. Lucu mungkin karena ia cemburu pada Ilham yang nyatanya sudah tiada. Tapi cowok itu tetap orang pertama yang mengambil hati Rizky. Dan diambil ke sisi-Nya saat Rizky masih menyelami rasa. Ghazi takut. Takut Rizky tidak bisa melupakan.

Ia merasa begitu kekanakkan. Toh ia memang masih kecil, belum dapat KTP. Lebih muda dari Rizky. Jadi biarlah kalau dirinya bertingkah seperti bocah saat ini.

"Kalau gue cukup dewasa, mungkin gue akan bilang lo simpen dia baik-baik di hati lo juga nggak apa. Tapi gue egois dan kekanakkan, jujur gue pengen ngambek kalau lo mau ngomongin kakaknya Raka."

Rizky ngakak. Tadinya ingin ia tahan, tapi Ghazi yang posesif itu lucu. Lucu yang buat ketawa dan yang ngegemesin. "Tenang, lo ada di peringkat keempat kok. Abis pasutri gaje yang gue panggil orangtua dan Bang Tio."

"Jadi kenapa dengan Ilham?"

Rizky mendongak, alisnya menyatu dengan sebal. "Kirain lo nggak mau ngomongin?"

"Penasaran."

Kemudian seniman itu berdecih, agak ngambek karena Ghazi jadi plin-plan. Lagipula, Rizky baru sadar dengan pembahasannya sendiri. Ia jadi agak malu mengatakannya. Jadi ia manyun saja lalu menggeleng.

"Ngomong atau gue ciumin sampe lo pingsan."

"Nah, gue makin nggak mau ngomong. Cium gue sampe pingsan Zi!"

ANTONIM [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang