Pendar

11.6K 935 42
                                    

Secercah cahaya menembus celah sempit dedaunan pohon tua belakang sekolah. Dengan latar belakang langit cerah yang membuat suasana terkesan damai. Pemandangan yang klise memang. Tetapi Rizky selalu mengagumi bagaimana kilap tipis itu menerobos daun-daun pada bagian yang tepat.

Rizky memang seperti remaja laki-laki pada umumnya. Jahil, lasak, hobi bergulat, menghina sesama demi kesenangan, buang gas sembarang tempat. Walaupun tingkatnya sedikit lebih tinggi kebanding teman-temannya.

Seperti sekarang ini contohnya, Rizky membolos dari guru yang dikenal paling seram seantero sekolah. Alasannya simpel, ia sedang mengantuk sekali. Menurutnya, tidak ada guna kalau ia tidak dapat fokus tapi tetap di kelas.

Jadi dengan sopan ia izin ke UKS karna merasa pusing sekali dan agak mual. Dicap sebagai salah satu anak ilmu sosial yang cukup baik dan rajin dengan senyum yang membuat guru gemas, tentu saja ibu garang sekalipun luluh.

Bukannya menyombong, tapi itu kenyataan. Rizky sadar guru sekolah-nya cukup baik pada murid jurusan IPS yang sopan santun-nya tinggi.

Semilir angin bulan Juli membuat mata Rizky berat. Cowok IPS itu sudah setengah sadar saat didengarnya bunyi gesekan sepatu dan rumput hijau.

"Bolos ya?" Suara familiar itu membuat dahi Rizky berkerut.

Sejujurnya, ia masih belum ingin berinteraksi dengan pemilik suara. Tapi tidak seperti Rizky bisa terus menghindar, mereka satu sekolah.

"Gue lagi males," Rizky bangkit dan menyilangkan kakinya, "Yang lebih penting, kakak kelas tiga masih bisa bolos juga ya."

Raka terkekeh mendengarnya, kaki nya belum pisah dari rerumputan sejak tadi. Agak takut Rizky akan kabur kalau ia mendekat barang satu senti saja. Senior itu tidak memperlihatkannya, tapi ia sedikit perih karna tahu betul Rizky tidak ingin terlalu dekat dengannya.

"Gurunya sakit. Lagipula kelas tiga itu masa udah capek sekolah. Biarlah gue nakal dikit."

Pemuda jurusan sosial itu hanya membalas seadanya dengan gumaman. Setelah itu tidak ada tukar kata diantara keduanya.

Bukannya Rizky mau menjadikan suasana canggung, ia memang tidak tahu mau balas apa. Dan untuk seorang Rizky Al Hudzaify, hal ini cukup jarang. Selama ini, Rizky memang sering diluar karakter saat bersama Raka. Terkadang cowok itu benci dengan perubahan pribadi-nya sendiri.

Raka menghela napas, tampak lelah dengan keheningan. Senior jurusan ilmu pasti itu mengambil langkah berat lalu menempatkan dirinya tepat disebelah Rizky.

"Ki. Lo masih belum bisa maafin gue?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Raka seperti bisikan. Dan ia menyesal membawa topik itu pada perbincangan.

Rizky tertawa getir. "Lo nggak salah apa-apa kok."

Rasanya Raka masih ingin membalas perkataan itu. Sekalipun Rizky melemparkan senyuman riang, pedih di manik moka itu masih jelas saat melihat sosok Raka. Hal itu membuatnya ingin mendekap badan kecil Rizky sampai perihnya ranap.

Sekalipun ia tahu persis itu tidak mungkin.

"Ki... " -- Raka menghela napas, menelan kembali kalimat yang akan keluar dari mulutnya -- "Nggak jadi. Lo masih mau disini?"

Rizky mengulum senyum dan mengangguk, "Sampe istirahat kedua."

Raka mengacak-acak rambut adik kelasnya. "Jangan keterusan ya," Cowok itu berdiri dan tanpa komando, melangkahkan kakinya menjauh.

Rizky merasa lega, sepertinya sejak tadi napasnya jadi susah. Mungkin Rizky perlu kedokter.

Atau Raka memang punya pengaruh sebesar itu padanya.

ANTONIM [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang