Pandangan Pertama

7.3K 726 12
                                    

[A/N : Chapter flashback sebelum masuk SMA. Jadi jangan bingung.]

"Pandangan pertama awal aku berjumpa" - Pandangan Pertama, A. Rafiq

...

20 Juni

[23. 15]

Hari itu malam minggu.

Tidak seperti remaja kebanyakan yang mayoritasnya sedang pergi jalan dengan kekasih atau mengutuk karna jomblo dan mendoakan hujan datang, Ghazi Agustamel memilih menonton film lama dari CD yang hobinya macet.

Nampak tidak modal memang. Tapi apa mau dikata, Ghazi sedang tak selera dengan film yang masih ia ingat jalan cerita-nya. Hanya CD butut ini yang ia lupa.

Ghazi menghela napas frustasi saat film nya hang untuk kedelapan kalinya. Selesai sudah perjuangan Ghazi menonton film ini, kesabarannya habis.

Ia bangkit dari duduk dan mengeluarkan piringan itu, membuangnya ke tong sampah terdekat.

Kedua orangtuanya sedang pergi keluar, atau lebih tepatnya lagi kencan untuk hari ini. Jadilah Ghazi ditinggal di rumah sendirian.

'Dasar. Padahal mereka udah tua.'

Disaat seperti ini ia jadi kangen dengan kucing kesayangannya dulu. Ia tidak pernah memberinya nama, tapi binatang berbulu yang satu itu selalu menemaninya saat kedua orangtuanya pergi kerja.

Kalau boleh dibilang, mungkin hewan itu satu-satunya titik kelemahan Ghazi. Walau ia bersumpah tak akan memelihara kucing lagi semenjak mati-nya kucing itu.

Mungkin terdengar tidak logis, tapi kucing itu teman terdekatnya.

Ghazi berlalu dan pergi ke kamarnya untuk mengambil jaket, terlalu banyak berpikir membuatnya ingin makan. Tidak, bukan makan nasi. Rasanya snack yang kelebihan bahan pengawet dan bumbu serta tidak sehat bagi tubuhnya terdengar lebih baik.

Katakan ia masokis. Tapi memang begitulah manusia, senang membahayakan diri sendiri tanpa tahu bahaya yang mereka hadapi.

Ghazi mengambil sepatu dari rak dan memasangnya, dompet dan telepon genggam terkubur dalam kantong jaketnya, bersama dengan kedua tangan. Headseat menggantung, menghubungkan telinga dengan kantung jaket kiri.

Ghazi bersyukur kedua orangtuanya membeli rumah yang dekat dengan minimarket 24 jam. Kalau tidak, bensin motornya sudah habis karna pulang-pergi ke tempat tersebut.

Remaja itu turun dari motor dan mengencangkan pelukan jaket pada sisi tubuhnya.

Ghazi bukan orang yang akrab dengan dingin, dan malam itu serasa di Kutub Utara. Ini memang musim hujan, dan seingatnya beberapa waktu lalu hujan cukup deras.

Dari ujung matanya la dapat melihat seorang remaja pada teras minimarket dengan bermacam minuman kaleng dan wajah di atas meja kecil. Ghazi bukan seorang pengamat yang baik. Tapi tak butuh gelar psikolog untuk tahu bocah itu sedang pedih.

"Huwaaang!"

Ia dapat mendengar suara tangisan - atau lebih kepada raungan - disebelah kanan sisinya saat akan buka pintu kaca minimarket. Alis Ghazi merengut, isakan bising itu bahkan menembus handsfree yang menutup kedua lubang telinga-nya.

Manik nyaris hitam itu melirik penasaran. Sayang, hal yang tidak Ghazi kira terjadi.

Alih-alih mendapat pemandangan singkat sesosok remaja galau, Ghazi bertemu mata dengan iris moka yang membulat.

Menyadari hal tersebut, Ghazi secepat mungkin memutus pandangan.

Remaja dengan sepasang mata sewarna moka itu meneriakkan kata 'masalah' dengan jelas.

ANTONIM [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang