15. Memar di Hati Alan

6.7K 614 63
                                    


"Gue udah capek ngunyah, tapi ini enak banget. Ga bisa berhenti!"

TANU, mengangkat keripik kentang di dalam toples, menjauhkannya dari jangkauan Peter yang menggerayang ke arahnya. Dasar rakus! Semenjak mendarat di rumah Dana beberapa menit yang lalu, toples itu tak lepas dari pangkuannya.

"Bagi dong, Nu!" Peter merangkak mencoba menggapai Tanu dan toples di tangannya, Tanu berkelit menghindar.

"Tant, ini so good, so true!" Ujar Tanu saat Ibu Dana melintas di depan mereka, berjalan ke arah dapur untuk mengecek tartnya di dalam oven. Aina--Ibu Dana--mengangkat ibu jarinya sambil menyengir.

'The boys datang'. Hanya itu yang di bilang Dana tadi sore, dan dia sudah tau bahwa akan ada segerombolan anak Gajah yang perlu di beri makan, supaya tidak membuat onar di rumahnya.

"Njeeeer, otak lo masih gresek ya, Nu!" Ujar Peter tak habis pikir, "percuma aja punya Bapak bule, bahasa inggris lo ga ada bagus-bagusnya semenjak bumi terkembang."

Tanu mendelik, mulutnya sudah letih menguyah, namun si rakus itu tak mau berhenti. "Salahin bokap gue dong, kenapa dia lebih suka make bahasa Sunda ketimbang Bahasa Inggris sama gue dari dulu?"

"Geloo!"

Peter memutar tubuhnya, memunggungi Tanu, tak sanggup melihat musibah di depannya. Tanu hanya mencibir pasrah, sahabatnya itu tak mengerti, Tanu tidak berbohong tentang Ayahnya yang lebih suka berbahasa Sunda ketimbang bahasa Inggris, bahasa ayahnya sana. Lagipula, semua keluarga McGaren sudah menetap di Indonesia, Eyang dan Grandpa-nya sudah menetap secara permanen di Bandung. Berbeda dengan Ayah Dana yang masih sering bolak-balik Inggris-Indonesia untuk pekerjaannya.

Di pihak Tanu, mereka sudah menjadi orang Indonesia asli. Dia sebenarnya bisa berbahasa Inggris, untuk bahasa sehari-hari seperti menyapa, bertanya, dan mengumpat. Selebihnya, Tanu terlalu capek untuk belajar.

Berbeda dengan temannya yang lain, sepanjang sore itu, Alan tampak diam. Bertanya sesekali, dan kalau ditanya kenapa, hanya menjawab singkat. Raganya memang disana, dengan teman-temannya, namun pikirannya melayang, berkelana, berkilo-kilo jauhnya.

'Papa lo sakit, kita bakalan jengukin ke rumah sakit sore ini, gue sama bang Divo. Lo ikut?'

Alan menimbang ponsel di tangannya dengan gusar. Kembali membaca pesan yang dikirim Alana siang tadi. Pesan itu yang membuatnya gusar sepanjang sore ini. Ayahnya--eng Danar, tua bangka itu jarang sekali sakit, kalaupun sakit, pastinya hanya flu ringan dan tidak perlu dirawat di rumah sakit. Dan kalau kali ini, pria itu terpaksa menjalani perawatan intensif di rumah sakit, sudah dipastikan, penyakit yang dideritanya adalah penyakit parah dan membutuhkan perhatian lebih.

Tunggu sebentar, peduli apa dia? Danar itu sudah lama berhenti menjadi ayahnya. Detik pertama pria itu mencampakkan ibunya dan mereka, detik itu pun Alan sudah menganggap Danar mati, terhapus dari hatinya. Rasanya, saat ini tak ada gunanya dia mengkhawatirkan pria itu. Lagipula, saat dia sakit dulu, saat dia benar-benar butuh keberadaan seorang Ayah disisinya, kemana saja pria itu? Apa yang dilakukannya? Dia bahkan tidak menelpon untuk sekedar menanyakan keadaan Alan. Dia lebih memilih untuk bergumul dengan selingkuhannya.

Memikirkan semua itu, Alan merasakan kesakitan dan dendam yang semakin menjadi kepada ayahnya. Di tekannya tombol off pada ponsel, lalu membuang ponsel itu jauh-jauh dari sisinya.

Semuanya lebih baik seperti ini.

***

Koridor rumah sakit itu tampak gaduh, Alana dan Divo baru saja kelar dari sebuah ruangan perawatan VVIP, menutup pintu di belakangnya, pria dua puluh tiga tahun itu menghela nafas. Alana menatapnya prihatin, mengeluarkan tisu dari tas kecilnya lalu menyodorkannya ke arah Divo, matanya memerah, berkaca-kaca.

TBS [1] Alan & AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang