4. Pagi, Alana.

5.8K 488 16
                                    


"Lo ngences tu!"

Bisikan geli Alan di telinganya membuat Alana bergidik, dia berjengit dan menatap Alan dengan mata melotot saat cowok itu lewat dengan tawa congaknya. Alana meraba ujung bibirnya. Sial, basah! Jangan bilang kalau gue emang ngences! Alana menggerutu dalam hati, dia menyodorkan kepalan tinjunya kepada Alan yang tertawa tanpa suara di ujung tangga.

Alan mencibir tidak peduli, kernyitan di dahinya semakin dalam saat pandangannya kembali jatuh kepada sang ibu yang menempel erat, seperti di olesi lem banteng kepada kakaknya. Tidak peduli tatapan Divo yang mengingatkan atau gelengengan lemah tak habis pikir yang di tujukannya terhadap kepada sang adik, Alan masih tetap mencemooh keduanya.

Diantara ketiga saudaranya, Alan lah yang paling mudah untuk mengungkapkan kan perasaannya. Di saat Divo cenderung menahan dan menutupi perasaannya dan Dino—kembaran Divo yang jarang pulang—lebih memilih untuk mengekang, sehingga jiwanya membangkang, Alan memilih untuk mengungkapkannya secara terang-terangan. Saat dia tidak suka dengan seseorang, Alan tidak akan segan untuk menunjukkannya secara langsung. Alan sama sekali tidak menahan dengusan sinisnya setiap kali papanya berkunjung ke rumah mereka. Atau mengintimidasi Dino yang tiba-tiba pulang setelah sekian lama minggat dengan tatapannya tajamnya. Alan tidak peduli dengan orang lain, dia tidak peduli kalau dia dibenci karena sifatnya itu. Alan hanya tidak ingin orang bertindak semena-mena atas dirinya.

Tapi siapa yang menyangka, sifat blak-blakkannya itu tidak pernah berlaku saat dia berada di dekat Alana. Alan selalu berusaha menjadi orang lain, menutupi sesuatu yang sebenarnya ia ketahui keberadaannya. Semua hal yang dia kubur karena ego dan gengsi yang tinggi. Dilahirkan sebagai anak bungsu dengan kekayaan berlimpah dan fisik yang mendukung, membuat Alan sedikit sombong dan menyebalkan.

"Kakak kok ga minta jemput sama Mama sih, Kak?"

Rila menarik wajah putranya yang tengah tersenyum ke arah Alana. Cemburu.

"Mama kan ada senam pagi ini." Ucap Divo memberi pengertian. Bibir mamanya mencebik, membuat Divo tertawa renyah, dia lalu kembali menatap Alana sedang memelototi Alan yang sedari tadi menggodanya.

Cewek itu semakin cantik saja, berbeda sekali dari terakhir kali Divo melihatnya. Alana tidak lagi gadis 8 tahun yang merengek ikut kemanapun dia pergi, bocah kecil itu sudah tumbuh menjadi perempuan cantik dan semakin dewasa—sepertinya. Divo tersenyum, ternyata dia merindukan seluruh penghuni rumah ini.

Bahkan saudara kembarnya, yang selalu berusaha menghindarinya.

Divo melihat kesekelilingnya, tidak ada yang berubah, masih sama. Hanya saja kali ini, keluarganya pecah belah, seperti beling kaca pada gelas yang jatuh menempa lantai. Divo tersenyum miris, ternyata hidupnya tidak seperti yang orang bayangkan.

Pandangan Divo kembali terfokus kepada Alana yang masih berdiri mematung. Divo kembali menyapanya, menyadarkan Alana dari lamunannya yang mungkin saja bisa membuat Alana kesurupan.

"Apa kabar Na?" Divo melepaskan pelukan dari sang ibunda yang membuatseketika Rila merenggut. Dia berjalan ke arah Alana yang mengerjap-ngerjap gugup, lalu tersenyum aneh.

"B-baik, Kak Divo gimana?" Ucap Alana gugup sambil meremas jarinya yang bertaut.

Divo tertawa. "I'm fine," ujar Divo lembut, lalu mengeluarkan sesuatu dari ransel dongker dengan motif bebek karet kuning yang di sandangnya.

"Ini buat kamu, kakak dulu janji kan bawain oleh-oleh?" Divo tersenyum manis, membuat Alana lumer seketika.

Astaga. Sudah hampir lima tahun, namun Divo masih ingat! Alan tiba-tiba ingin berteriak dan salto keliling rumah.

TBS [1] Alan & AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang