21. Senyumanmu Sore Itu

992 69 12
                                    

"Letakkan pensil. Semuanya berhenti menulis."

Instruksi pengawas ujian hari itu di sambut sumringah oleh para peserta ujian. Pensil diletakkan di meja satu persatu lembar jawaban pun di tutup. Wajah sabaran para peserta menatap pintu keluar dengan mendamba. Pasalnya, berada diruangan ini, dengan lusinan soal Kimia yang membuat kepala berdentam nyeri menjadikan mereka tidak sabar untuk segera terbang dan berteriak kencang, beritahu dunia, ujian akhir nasional ini telah selesai.

Beberapa bulan yang lalu, Alan tidak yakin dia bisa melalui ujian melelahkan ini, meningat betapa banyaknya kateri yang tidak dia mengerti. Namun, setelah meminta bantuan untuk mengulang pelajaran dengan Agil dan juga Alana, dia bisa mengejar ketertinggalan dalam pelajaran. Rasanya, kalau mengingat masa SMA yang telah dilewatkannya dengan banyak bermain tanpa memikirkan efek yang akan diterimanya 'saat ini' Alan jadi ingin mencemburkan diri dalam lumpur. Terlalu santai dalam belajar itu engga baik juga. Sekarang dia ngos-ngosan, belum sepenuhnya lega, karena ada satu ujian lagi yang menunggunya dengan tangan terbuka lebar. Ujian masuk perguruan tinggi, oh well, makasih.

"Lo bener-bener ga mau lanjut kuliah?" tanya Alana padanya waktu itu, ketika mereka duduk bersandar dirumah pohon, bahu saling bersinggungan, dan tangan bergantian menjangkau potongan pizza dalam kotak.

Alan mengendikkan bahu, pipinya menggembung sebelah dipenuhi pizza, "Gatau."

Ketika Alana tidak menanggapinya, Alan menoleh dan melihat cewek itu tengah terdiam, matanya menatap nanar ke depan, Alan menyikutnya pelan, membuatnya menoleh. "Kalau, lo? Lo mau ngelanjutin kuliah dimana?"

Alana tersenyum kecut, "Paling yang dekat-dekat sini aja, gue ga bisa kuliah jauh-jauh, kasian Ibu." ujarnya, mengambil sepotong pizza lagi.

Ketika itu Alan merasa sangat jahat karena merasa lega dan sedikit senang dengan pilihan Alana, pikirnya, setidaknya kalau Alana memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di Jakarta ini, mereka masih tinggal serumah dan Alan bisa bertemu dengan Alan setiap hari. Seperti yang sudah-sudah selama ini. Tapi sekarang dia mengerti kenapa Alana terlihat begitu bimbang ketika ia memutuskan untuk tidak kuliah jauh-jauh.

"Lo kan masih bisa pulang setiap bulan, lagian Bu Ratna juga bakal gue jagain kok." Celetuk Alan, Alana menoleh dan mendorong bahunya pelan.

"Lega deh, kalau lo udah ngomong begitu." Ujarnya, "Thankyou ya, Alan."

Lamunan Alan buyar ketika sorakan terdengar dari arah belakangnya, disusul oleh terjangan dan pelukan di pundak dari kanan dan kiri, tawa kecil pecah dari bibirnya ketika Tanu dan Dana berteriak girang, ujian telah selesai.

"Langsung ke Bake Bakery?" Tanya Peter sembari mengetikkan sesuatu di ponsel.

"Iye, gue nebeng ya siapapun, mobil di bengkel." Dana berujar, tangannya memperbaiki rambut.

"Gue bawa motor nih, nebengin Agil. Coba sama Tanu."

"Ogah." Tanu menolak.

"Pelit banget dah."

"Gamau gue nebengin anak setan, setiap kali bawa dia sial terus gue."

"Ye emang lo nya aja yang sial."

Alan tertawa, "Udah lo sama gue, tapi bentar ye gue ke kantor bentar."

"Lah tumben amat?"

"Tadi disuruh buk Sur, bentar ye kalian duluan aja ke parkiran."

Alan berbalik ke arah kantor sementara ketiga temannya berjalan menuruni tangga. Sebenarnya dia juga tidak tahu kenapa guru yang terkenal cuek itu memintanya untuk datang ke kantor. Alan berjalan cepat menyusuri lorong, lalu menaiki tangga ke lantai ruang guru berada.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TBS [1] Alan & AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang