18. Runaway

3.8K 406 23
                                    




"Nath, Nathan!"

ALANA menyentuh bahu Nathan pelan dan ikut terlonjak saat cowok itu menoleh kaget. Alana tergelak kecil, mengulum senyum melihat tingkah menggemaskan kekasihnya. Namun, saat tersadar kalau Nathan sama sekali tidak ikut tertawa bersamanya, cewek itu sketika terdiam, di tatapnya Nathan lekat.

"Nath ... kamu ga papa?"

Nathan masih terdiam lama, pandangannya tak berisi, ada gundah yang bergelantungan. Ketika jemari halus Alana kembali menyentuh lengannya, dia tersintak, menoleh untuk menemukan wajah khawatir cewek itu. Nathan buru-buru mengulum senyum.

"Engga-ngga papa, sorry ya. Saya ngelamun!" ujarnya cengengesan, menggaruk belakang kepala dengan cara yang menggemaskan.

Pandangan mata Alana melembut, dia menyentuh wajah Nathan dengan lembut, cowok itu memejamkan mata, merebahkan kepalanya dalam belaian halus tangan Alana.

"Lo lagi ga sehat ya? Dari tadi murung terus, kita pulang sekarang aja?"

Nathan menggeleng, wajahnya masih menempel pada telapak tangan Alana. Suaranya serak terdengar ketika mengatakan, "engga." Dia lalu mengangkat wajah, tersenyum manis, "abis cari bukunya, kita cari makan dulu ya?"

Alana menatapnya lekat, di balas Nathan dengan senyum tulus, akhirnya cewek itu menghela nafas dan mengangguk.

"Oke, lagian bukunya udah dapet nih. Kita pergi sekarang?" Supaya lo bisa istirahat.

"Oke!"

Nathan membiarkan Alana berjalan di depannya, matanya memandangi perempuan itu. Bagaimana caranya berjalan, rambutnya yang panjang jatuh menutupi punggung, Alana semakin menjauh, Nathan mengangkat sebelah tangannya, dia menatap sosok Alana dari sela-sela jari.

Walaupun seperti itu kenyataannya, dia tidak bisa melepaskan Alana. Karena dia sudah terlanjur jatuh cinta.

Nathan menghela nafas, lalu melanjutkan langkahnya. Baru beberapa langkah ia berjalan, ponsel di saku celananya bergetar. Nathan mengeluarkan ponselnya, menekan tombol hijau dan menempelkannya ke telinga.

Hal yang ia ketahui selanjutnya adalah, dia yang menarik Alana keluar dari toko buku itu.



***

"Dino, ngapain lo di kamar gue?"

Alan yang tadinya menelungkup di atas ranjang sembari membaca buku tebal bertuliskan Bintang dan Planet di cover-nya, seketika terduduk saat Dino masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi. Tau-tau cowok itu sudah merebahkan diri di sofa panjang dekat sudut, membenamkan kepalanya di tumpukan bantal.

"Setahu gue, gue masih Abang lo deh, masih beberapa tahun duluan nongol dari pada lo!" ujar Dino dengan nada datar. Mendengar itu Alan terdiam sebentar, menggaruk tengkuknya canggung lalu bergumam sorry dengan wajah masam. Yang tak diduganya, Dino malah terkekeh, masih dengan wajah terbenam di tumpukan bantal.

Dino tidak pernah tertawa. Jangankan tertawa, tersenyum pun enggan. Sekalinya tersenyum, itu adalah bentuk senyum sarkastik penuh cemoohan. Entah sejak kapan Dino berubah drastis seperti itu. Namun, sekarang ketimbang senang mendengar suara tawa Dino, Alan malah merasa ada yang mencubit ulu hatinya.

Itu bukan jenis tawa bahagia yang ingin ia dengar. Lebih seperti tawa yang di paksakan, penuh kemirisan dan ironi.

"Lo ngga papa ... Kak?" Alan terdiam, "lo ga papa, Kak?" ulangnya lagi.

Jeda yang lama sampai akhirnya Dino mengangkat kepalanya dan menatap Alan dengan senyum penuh ironi yang tersungging di bibir.

"Kayaknya, ga papa!"

TBS [1] Alan & AlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang