5

15K 1.4K 34
                                    

Mereka berdua merasa pernah bertemu, tapi pertanyaannya adalah, dimana?

"Kau tidak apa-apa?" tanya Sally yang penasaran dengan tingkah Alana yang banyak melamun.

"Aku tidak apa-apa. Tenang saja Sally." ujar Alana kepada Sally.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Sally penasaran.

"Tidak ada." ujar Alana.

"Ayolah ceritakan.." ujar Sally seperti sedang membujuk.

"Aku hanya memikirkan bagaimana kita bisa sampai terjebak disini dan kenapa sampai bisa." ujar Alana yang berbohong yang sebenarnya adalah Alana berpikir tentang pemuda di hadapannya tadi, bukan berpikir tentang keadaan mereka sekarang.

"Semua berhenti, kita harus berpencar. Kita hanya membuang-buang waktu kalau seperti ini." kata pemuda tadi.

"Benar katamu." Andrew yang setuju dengan yang disampaikan pemuda tersebut kemudian ia melanjutkan perkataannya. "Sekarang jumlah kita ada berapa orang?" tanya Andrew.

"14 orang." balas petra.

"Bagaimana kalau kita bagi menjadi 7 kelompok yang terdiri dari 2 orang? agar lebih cepat." ujar Alex.

Setelah pembagian, Sally dan Alana terpisah, Sally dipasangkan dengan Alex, Petra dan Andrew, Alana dengan laki-laki tadi, dan yang lainnya, memilih acak pasangan mereka.

Setelah selesai mereka semua langsung berpencar. Sekolah mereka cukup luas. Pintu masuk dan keluar sekolah mereka ada 7 maka dari itu mereka dibagi menjadi 7 kelompok. Bagian depan sekolah ada 2 pintu kemudian di sebelah kiri sekolah ada 2 pintu lalu di sebelah kanan juga 2 pintu dan belakang sekolah ada 1 pintu yang sebenarnya bukan pintu keluar tapi langsung terhubung dengan gedung pemerintahan mereka.

Alex dan Sally pergi menuju pintu sebelah kanan. Petra dan Andrew pintu sebelah kiri. Alana dan pemuda tadi menuju belakang dan sisanya menuju pintu depan. Mereka lalu berpencar sesuai posisi masing-masing.

"Sebenarnya apa yang kita cari?" tanya Alana pada sosok yang berjalan disebelahnya.

"Kita akan mencari pintu keluar dari sini dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi." ujar pemuda tersebut dengan suara dingin tanpa memandang Alana.

"Aku harus memanggilmu apa?" tanya Alana. 'Kenapa aku sampai bertanya hal ini' batinnya.

"Kau ingin tahu namaku?" sambil menaikkan alis kirinya, dan memandang Alana. Alana yang diberikan tatapan itu,  langsung memalingkan pandangannya dari pemuda itu dan memandang lurus ke depan.

"Bukan seperti itu, aku hanya, hanya..." belum sempat Alana melanjutkan perkataannya pemuda itu dengan cepat memotong perkataan Alana.

"Hanya apa?" ujar pemuda itu, refleks Alana langsung menengok kearahnya dan dibalas dengan senyum mengejek oleh pemuda tersebut.

"Hanya ingin kita bisa bekerja sama dengan baik. Kalau ada sesuatu aku harus memanggilmu apa? hanya itu tidak lebih." Alana menyelesaikan kalimatnya dengan satu tarikan napas.

"Baiklah, jika itu memang yang kau inginkan." ada nada mengejek oleh pemuda itu.

"Namaku Sean Ayres, Sean Anthony Ayres."

Ketika pemuda itu memberitahu namanya terbesit ide di benak Alana untuk mengerjai pemuda itu.

"Apa kau Sean? Sean Anthony?" Alana berkata dengan wajah mengagumi.

"Iya, itu aku. Aku memang cukup terkenal di sekolah ini bukan? Kau mengenalku?" ujar Sean berkata dengan membanggakan dirinya sambil menatap Alana dengan senyum.

"Tidak." jawab Alana dengan yang mengganti wajahnya dari senyum mengagumi ke wajah datar sepersekian detik.

"Apa?" ujar Sean dengan tatapan kaget.

"Hahaha, kau harusnya melihat ekspresimu tadi." Alana mengatakannya sambil tertawa, dia berhasil membodohi Sean.

"Jadi kau tadi mengerjaiku?"

"Hahaha kamu Sean? Sean Anthony? Iya, itu aku. Aku cukup terkenal bukan? kau kenal aku? tidak hahahha." Alana mengulang kembali percakapan tadi dengan nada mengejek dan suara yang dibuat-buat. Alana terus tertawa perutnya menjadi sakit dan Alana tidak dapat mengontrol tawanya, ia sudah tidak sadar dengan sekitarnya karena kejadian tadi.

Ketika Alana berhenti tertawa dan mengontrol napasnya, Alana sadar bahwa Sean sudah tidak ada di sekitarnya. Alana yang menyadari hal itu menjadi takut, karena disini terlalu banyak lorong, keadaan yang tidak terlalu terang dan sepi, membuat sekolah mereka semakin menakutkan.

"Sean?" kata Alana dengan suara pelan, karena takut.

"Sean kau dimana?"

"Jangan bercanda Sean!"

"Sean?" Alana yang sudah sangat ketakutan tanpa sadar telah berkeringat dingin.

"Sean, kau dimana?" ujar Alana yang telah dengan nada getar.

"Jangan jadi pengecut! Aku bisa tanpa dia." ujar Alana yang menguatkan dirinya sendiri.

Alana mengatur napasnya, dan melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar derap kaki mendekat kearahnya. Ketika Alana menoleh kebelakang, tidak ada yang didapatinya.

"Sean, kaukah itu?" ujar Alana.

"Sean?"

"Mungkin hanya perasaanku saja."

Alana melanjutkan langkahnya, suara kaki tadi terdengar kembali.

"Sean, jangan bercanda! Ini tidak lucu."

Alana menjadi semakin takut dengan langkah kaki tersebut. Alana kembali berjalan, langkah kaki itu semakin mendekat, dan kemudian.

"Alana." bisikan tepat disebelah telinganya, membuat Alana terlonjak kaget.

"Ahhh!" Alana berteriak dan ia terjatuh ke lantai.

"Hahaha kena kau!" ujar Sean sambil tertawa melihat keadaan Alana.

"Kau.." Alana mencoba menahan kekesalnya, ia tidak mau kelihatan cengeng di depan Sean. Ia kemudian berdiri dan merapikan pakaian dan tas yang dibawanya kemudian berjalan menjauh dari Sean.

Sean mengikuti Alana dari belakang sambil tertawa karena kejadian tadi.

"Kau tahu, kau sangat lucu tadi." ujar Sean yang berkata sambil menahan tawanya Alana hanya diam dengan perkataan Sean.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Sean karena Alana tidak menggubris perkataannya. Sean menghalangi jalan Alana dan memandang wajah Alana.

"Minggir!" ujar Alana tanpa memandang Sean.

"Tidak akan." balas Sean. Sean menunggu balasan dari Alana, tapi yang didapatkannya hanyalah diam dari Alana.

"Kau kenapa?" tanya Sean.

"Aku tidak apa-apa, jangan halangi jalanku!" Alana mengambil langkah menghindari Sean.

"Sudahlah, percuma berdebat denganmu." ujar Sean. Alana mengacuhkan Sean, dia sama sekali tidak menggubris perkataan Sean.

Sean merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan tadi pada Alana. Sean berdiri dan tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya, dia masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Kau ikut tidak? Atau kau akan meninggalkanku lagi?" ujar Alana dengan suara kesal dan membuyarkan lamunan Sean.

"Alana." ujar Sean dengan suara pelan tapi masih bisa didengar telinga Alana.

"Apa?" ujar Alana yang berbalik badan dan memandang Sean.

THE LASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang