Yang didapatinya masih tetap bayangan yang tidak bergerak, dia tidak ingin menengok dari belakang dinding tempatnya bersembunyi dan mencari tahu pemilik bayangan tersebut, dia langsung menutup matanya lagi. Alana sangat takut dengan apa yang akan dilihatnya. Dia meringis dalam hati, menahan sakit yang datang dari lututnya karena menabrak kursi besi dan tersandung ketika melarikan diri dari makhluk-makhluk tadi, ketika dia lari dari makhluk-makhluk itu, dia tidak merasakan sakitnya, mungkin karena ditutupi dengan ketakutannya, sehingga rasa sakit yang ada dilututnya tidak diterasakan.
Alana masih enggan untuk membuka kedua matanya, bahunya bergetar, dadanya semakin sesak karena dia menahan nafas yang keluar dari mulutnya, matanya telah sembab karena menangis dalam diam, wajahnya telah dibasahi dengan bulir-bulir air yang jatuh dari matanya.
Ketika Sean dan yang lainnya telah sampai di lantai 2, dan telah memilih ruangan yang cukup aman untuk mereka, Alana sudah tidak ada bersama mereka, Sean yang pertama kali menyadari hal itu, langsung belari keluar tanpa memperdulikan panggilan Andrew dan Alex, dan mencari Alana di ruangan sekitar mereka, Sean hampir kehilangan akalnya karena ketidak beradaan Alana.
"Dimana dia?, semoga aku tidak terlambat, kenapa aku tidak menyadari dia sudah tidak ada tadi, dia membuatku gila" Sean menghembuskan nafas kasar dan mengacak rambutnya dengan frustasi, dia marah kepada dirinya sendiri.
Sean melihat ada tas dibalik dinding , di belokan menuju bagian kiri lantai 2, dia mendekat kearah tas tersebut, bayangannya menjulang kedepan. Ketika dia berada di sebelah pemilik tas itu, dia kaget melihat Alana yang sedang menutup mulutnya dengan tangannya sendiri, untuk meyakinkan dirinya kalau itu benar-benar Alana, dia pun mencoba memanggilnya."Alana, kaukah itu?" ujar Sean dengan suara pelan.
"Sean." Alana melepaskan tangan dari mulutnya dan mendongakan kepalanya menatap pemilik suara yang memanggilnya. Kemarahan Sean memuncak karena melihat kondisi Alana, Sean marah pada dirinya sendiri, dadanya terasa sakit, jantungnya seperti diremas ketika melihat Alana yang meringkuk, air matanya yang jatuh menjadi tamparan keras bagi Sean.
"Kau kemana saja, aku hampir gila karena kau tiba-tiba menghilang!" ujar Sean dengan nada marah dan dingin.
"Darimana saja kau?" ujar Sean sambil duduk di depan Alana.
"Kau tidak tahu tempat ini sangat berbahaya?"
"Apa yang sebenarnya kau pikirkan!"
"Apa kau sudah gila?" ujar Sean. dengan nada tinggi khas orang yang sedang marah, bahkan ada sedikit geraman yang keluar dari mulutnya karena amarah yang sedang membuncah.
"Maaf.." ujar Alana yang merunduk tidak berani menatap Sean karena takut.
"Kau kira maaf dapat mengembalikan nyawamu, jika terjadi sesuatu?" ujar Sean yang menjadi - jadi."AKU BILANG MAAF, KENAPA KAU TIDAK BISA MENGERTI, KAU TIDAK TAHU APA YANG BARU SAJA KUALAMI." ujar Alana yang setengah berteriak, kemudian diikuti dengan tangisannya yang sudah tidak dapat ditahannya, dia mencoba menahan tangisan itu agar tidak terlalu bersuara.
"Alana.." ujar Sean dengan nada lembut, merasa bersalah karena telah membentak Alana, kemudian merengkuh Alana dalam pelukannya, untuk menenangkan gadis itu.
"Kau tidak tahu, kau sama sekali tidak tahu." ujar Alana yang menangis dibahu Sean.
"Alana, maafkan aku.." ujar Sean dengan nada bersalah.
"Aku.." ujar Alana yang merasa bersalah.
"Maafkan aku, aku sangat marah pada diriku sendiri dan melampiaskannya padamu, karena ceroboh, aku tidak sadar kau tidak ada, aku kalang kabut karenamu, aku mencarimu, dan kukira semua sudah terlambat.." ujar Sean dengan nada bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAST
Science Fiction•1• "Mereka yang tersisa dan mereka yang harus tersiksa" Alana Freeds seorang remaja perempuan berusia 16 tahun yang tinggal dan hidup dengan kedua orang tuanya yaitu Mark Freeds dan Angela Freeds. mereka tinggal dan hidup di kota yang bernama Fale...