Mereka berdua menyiapkan keperluan untuk menyusuri lantai 1. Masing-masing tas mereka hanya mampu membawa 20 besi kecil seperti pin yang dipakai untuk hiasan meja atau bisa dibilang juga tanda untuk tiap-tiap meja, barang tersebut menempel pada masing-masing meja, butuh waktu untuk mencabutnya, tapi Sean dan Alana berhasil mencabutnya dengan usaha yang bisa dibilang cukup keras, dengan menggunakan pisau lipat. Setelah siap dengan benda-benda yang telah mereka berdua pilih untuk pergi ke lantai 1, mereka berdua pun bergegas turun kebawah. Langkah demi langkah diambil mereka dengan sangat berhati-hati, mereka selalu memperhatikan situasi dan keadaan di sekitar mereka. Gedung pemerintahan, khususnya lantai 1 yang mereka tuju, masih sangat terang, sama seperti ketika Alana meninggalkan tempat itu.
Ketika mereka berdua sampai di lantai 1, dari radius 10 meter sudah ada murid-murid yang telah berubah, mereka diam tak bergerak, hanya sesekali memutar atau menggerakan kepalanya dengan cara yang tidak normal.
Para murid-murid aneh itu terlihat sangat menakutkan, kepala mereka yang bergerak aneh, ditambah juga mulut yang penuh dengan bekas darah memang membuat jantung berpacu lebih cepat, semua orang yang melihatnya dapat merasakan ketakutan yang menyelimuti tempat itu.
"Alana, berjalan dibelakangku." ujar Sean dengan berbisik pelan, tapi masih bisa didengar Alana.
"Memangnya kenapa?" tanya Alana.
"Lakukan saja!" ujar Sean dengan tidak sabaran.
Sean akan melemparkan salah satu benda kecil yang dibawanya, tapi kemudian Alana menghentikannya."Kau mau apa?" tanya Alana.
"Mengalihkan perhatian mereka, jika mereka melihat kita, akan lebih rumit untuk kita menyusuri tempat ini." ujar Sean.
"Mereka tidak akan bisa melihat kita, mereka hanya merespon terhadap suara, kita tidak perlu melempar barang apapun, mereka masih cukup jauh dari kita, lorong yang kita tuju juga hanya 15 kaki dari sini." ujar Alana.
"Jadi itu sebabnya kau tidak mengikuti kami tadi, aku akui kau berani." ujar Sean.
"Aku tahu." ujar Alana bangga.
"Jadi sekarang kita hanya harus menyusuri tempat ini dengan tidak menimbulkan suara, kita harus menghemat benda-benda ini." ujar Alana.
Mereka berdua menyusuri lorong-lorong kecil ditempat itu, mereka masih belum menyelusuri koridor utama karena banyak sekali murid-murid aneh disitu. Ruangan pertama dimasuki mereka berdua.
"Ini hanya ruangan biasa, meja kerja seperti ini sudah pernah dan sering kulihat.""Dimana?" ujar Alana yang penasaran.
"Ayahku memilikinya." ujar Sean dengan nada dingin khasnya.
"Ohiya, kau keluarga Ayres, kudengar ayahmu salah satu yang bertugas di gedung ini kan." ujar Alana.
"Iya, kau benar, tapi aku hampir tidak pernah berkomunikasi dengan ayahku, bahkan kedua orang tuaku, mereka terlihat hampa dan kosong."
"Aku tau perasaan itu." ujar Alana dengan nada yang tidak bisa dijelaskan.
"Apa ayahmu pernah menceritakan keadaan ditempat ini?" tanya Alana kepada Sean.
"Tidak, tidak pernah, bukankah sudah kubilang tadi kami tidak pernah berbicara satu sama lain." ujar Sean dengan kesal.
"Baiklah." Alana sudah tidak ingin bertanya atau berbicara lebih banyak lagi karena sikap Sean, yang berubah menjadi sangat dingin.
Mereka berdua kemudian memeriksa apa ada yang aneh dengan ruangan tersebut atau mencari benda-benda yang dapat mereka manfaatkan, tapi itu percuma, semua ruangan ditempat ini, baik dari warna ruangan, warna meja, bentuknya, kursi, dan hiasan ditempat ini semuanya sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAST
Science Fiction•1• "Mereka yang tersisa dan mereka yang harus tersiksa" Alana Freeds seorang remaja perempuan berusia 16 tahun yang tinggal dan hidup dengan kedua orang tuanya yaitu Mark Freeds dan Angela Freeds. mereka tinggal dan hidup di kota yang bernama Fale...