Apa itu?" tanya Alana kepada Sean sambil meringis menahan sakit dikepalanya.
"Aku tidak tahu, ayo kita harus cepat." ujar Sean, yang keadaannya tidak jauh beda dari Alana.
Suara atau bunyi itu semakin nyaring, suara itu seperti siksaan, Alana dan Sean hampir tidak sadarkan diri, tapi untungnya suara itu berhenti, ketika mereka masih bisa menahannya.
"Alana."
Alana masih menyesuaikan diri dengan sekitarnya, Sean mencoba untuk memanggil nama Alana, sambil mencoba menyadarkannya.
"Alana."
"Iya." ujar Alana sambil meringis menahan sakit yang menghantam kepalanya
.
"Ayo kita pergi dari sini." ujar Sean.
Alana tidak menjawab perkataan Sean, dia langsung berdiri, dan mereka berdua kemudian menjauh dari tempat itu. Baru beberapa langkah terdengar lagi geraman dan teriakan dari dalam Aula, siapapun yang berada disana dapat merasakan ketakutan yang menyelimuti tempat itu.Sean langsung menarik Alana untuk pergi menjauh dari tempat tersebut, mereka bergegas menuju pintu belakang, entah apa yang terjadi pada murid-murid di dalam Aula tersebut. Mereka berlari dari bagian kanan sekolah ke bagian kiri, mereka berdua melewati kelas-kelas tanpa menoleh ke belakang sedikitpun, pikiran mereka hanya tertuju pada keadaan mereka sekarang, Alana yang masih sibuk dengan ingatan ketika dia melihat murid-murid yang dikontrol, kemudian mereka yang mengeluarkan darah dari mulutnya, semua hal itu berkecamuk dalam pikirannya, Sean tidak terlalu memikirkan hal tersebut, satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah membawa Alana menjauh dari Aula dan dari tempat ini
.
"Sean, tunggu sebentar!"
"Ada apa Alana?, kita harus cepat pergi dari sini."
"Iya aku tahu, tapi.""Tapi apa?" tanya Sean.
"Tidak jadi."
"Apa kau baik-baik saja?"
"Iya Sean, aku tidak apa-apa."
"Baiklah, ayo, kita harus cepat pergi dari sini."
Alana ingin berhenti, karena perutnya sangat sakit, mungkin karena kelelahan berlari, tapi dia tidak ingin membuat Sean khawatir atau menyusahkannya, jadi Alana mencoba menahan sakit di perutnya itu, sambil terus berlari menjauh dari bagian kanan sekolah mereka. Alana tidak tahan menahan sakit diperutnya, perutnya sakit sekali, dia kemudian linglung dan hampir terjatuh. Sean yang melihat itu sontak memegang kedua pundak Alana agar tidak terjatuh."Alana, kau baik-baik saja?"
"Iya, aku hanya sedikit sakit perut."
"Kau yakin?"
"Iya."
"Kalau begitu naiklah ke punggungku." ujar Sean yang memberikan saran.
"Jangan, tidak usah." Alana langsung menolak mentah-mentah perkataan Sean.
"Ayo naik." Sean tetap memaksa.
"Aku tidak mau." Alana masih tetap pada keinginannya.
"Dasar keras kepala!"
Mereka berdua telah sampai di bagian tengah sekolah dan langsung menuju ke pintu bagian belakang tempat teman-temannya yang tadi masih tidak sadarkan diri.
"Alana." Sean setengah berteriak karena melihat Alana yang sudah jatuh.
"Alana kau tidak apa-apa?" Tidak ada jawaban dari Alana, keringat dingin jatuh dari pelipis gadis itu, nafasnya memburu tak beraturan.
"Alana, jawab aku!" ujar Sean sambil menepuk pelan pipi Alana
"Sudah kubilang tadi naik di punggungku, tapi kau sangat keras kepala." Tetap tidak ada jawaban dari gadis itu, matanya masih terpejam, Sean kemudian menggendongnya, dan segera menuju ke pintu belakang. Di tengah perjalanan, Sean yang sementara menggendong Alana, melihat siluet yang sedang mendekatinya, otomatis dia mencari tempat untuk dia dan Alana bisa bersembunyi. Sean melirik Alana yang masih dalam keadaan tidak sadarkan diri, dia menyingkiran beberapa rambut halus yang menutupi muka Alana.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAST
Science Fiction•1• "Mereka yang tersisa dan mereka yang harus tersiksa" Alana Freeds seorang remaja perempuan berusia 16 tahun yang tinggal dan hidup dengan kedua orang tuanya yaitu Mark Freeds dan Angela Freeds. mereka tinggal dan hidup di kota yang bernama Fale...