Musim gugur di bulan Oktober akan tiba. Waktu untuk pergi ke London tinggal sebentar lagi. Runa mempersiapkan diri sungguh-sungguh.
"Runa, makan siang dulu, yuk. Jangan terlalu diforsir, nanti kamu tepar waktu resital," ajak Nyonya Shannon saat Runa sedang berlatih.
Saat makan siang, Nyonya Shannon mengajak Runa mengobrol, "Nanti kamu mau bermain lagu apa?"
""Dust in the Wind", lagunya Kansas. Rencananya, Runa nanti main gitarnya sambil nyanyi. Runa diajarin nyanyi sama Clara. Yang Runa tahu, sejak tiga tahun yang lalu, para kontestan resital boleh bermain alat musik sambil bernyanyi."
"Bagus itu. Lagunya memang gitar banget. Susah nggak?"
"Lama-lama juga biasa, kok."
"Pakai gitar listrik?" Nyonya Shannon ingin tahu.
"Gitar akustik aja, nanti disambung ke amplifier."
"Oh," erti Nyonya Shannon. "Runa pernah kepikiran untuk bermain gitar listrik?"
"Belum. Nanti saja waktu SMP."
Nyonya Shannon menyuap sup krimnya.
Aduh, soal tantangan itu bagaimana ya? Tapi, ah, banyak-banyak berdoa sajalah!
"Kenapa? Kok bengong?"
"Gak pa pa kok, Bu. Runa cuma bentar lagi kenyang."
"Ya sudah," desah Nyonya Shannon.
***
Seminggu sebelum hari H resital, Runa dan ibunya pergi ke London dengan menggunakan mobil. Dari Manchester, mereka berangkat pukul 9 pagi. Mereka lewat Birmingham, Conventry, sempat berbelok ke Wolverhampton untuk mampir. Nyonya Shannon yang menyetir.
"Ibu pasti kelelahan," kata Runa.
"Tentu saja, masak tidak," kata Nyonya Shannon sambil memerhatikan jalanan.
"Mengapa tidak lewat Nottingham?"
"Agar kau tidak bosan. Kalau kau ke Cambridge kan lewat sana."
"Pasti disana ada banyak tempat peristirahatan, ya?"
"Lumayan. Kau begitu mengkhawatirkan Ibu. Ibu kan tidak memprihatinkan karena Ibu sudah biasa. Tenang saja," Nyonya Shannon menenangkan Runa yang gelisah.
"Cambridge masih lebih jauh." Padahal sebenarnya tidak.
"Berarti, nanti kalau sampai di London, kita cari tempat bermain yang ada Dance Dance Revolution-nya, biar Ibu olahraga."
"Hahaha," tawa Nyonya Shannon. Saat masih muda, Nyonya Shannon adalah seorang dancer. Setiap Runa mengajaknya main DDR, Nyonya Shannon selalu teringat masa mudanya.
"Ayah tidak ikut?" Runa bertanya tiba-tiba.
Nyonya Shannon juga kaget karena secara spontan Runa menanyakan ayahnya, "Oh, Runa, mau sejauh apapun, mau berapapun jaraknya, kamu akan selalu dekat dengan Ayah. Dia ada dalam dirimu."
"Tapi aku ingin melihatnya," kata Runa sambil cemberut.
"Kau akan bertemu dengannya sebentar lagi."
"Apa ibu sering melakukan kontak dengan Ayah?"
"Biasanya Ayah yang memulai," jawab Nyonya Shannon. "Cukup sering. Tapi jangan lihat telepon genggam ibu."
"Apa sebenarnya Ayah ada di Manchester?"
"Ayahmu ada satu, selalu bersamamu, dari Inggris, tapi dia sering berpergian jadi dia bisa di mana-mana, di mana saja."
"Memangnya ibu tidak ingin bertemu juga?"
"Sama denganmu, Ibu juga rindu. Tapi Ayah tinggal berpisah karena bekerja demi keluarga, demi kita, demi kau. Dia ingin memberi yang terbaik untukmu."
"Begitukah?" pikir Runa, "Maaf jika selama ini aku merepotkanmu, Bu. Aku sayang Ibu, tapi aku ingin bertemu Ayah karena aku juga sayang Ayah."
Nyonya Shannon berdoa. Sudah dua jam ia menyetir. Burger yang dibeli di Wolverhampton belum dijamah. Ia lapar. Tapi ia mencoba menahan karena kalau ia makan burger tersebut sebelum waktunya, Runa makan apa? Ia membawa mobilnya ke arah Conventry. Mungkin ia bisa beristirahat disana.
Mata Runa terpejam, ia terlelap. Dalam tidur, ia berharap untuk tidak memimpikan ayahnya karena ia ingin bertemu dengan ayahnya langsung suatu saat nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guitars and Me
Tiểu Thuyết Chung"Apa ini?" Nyonya Shannon mencoba membuka amplop. Ia mengeluarkan surat dari dalam. Saat membacanya, Nyonya Shannon terguncang. "Ya ampun, Runa, ini undangan resital anual. Kamu diminta untuk berapresiasi. Kamu memang hebat!" "Benarkah? Dimana?" "Di...