Satu

967 82 2
                                    

Gea's

Aku. Gea Achazia Callie. Memulai kehidupan dalam hubungan yang baru, bersama justin. Baiklah, aku tak memulai kehidupan yang baru karena aku mengingat semua memori itu. Tapi, justin-lah yang memulainya dari bab pertama. Berusaha untuk mengingat seseorang yang dilupakan itu pasti sungguh sulit, aku tak akan pernah menyalahkan semua kecelakaan ini karena aku ataupun karena justin. Tuhan pasti memilih struktur perjalanan hidup yang baik, bahkan akan sangat indah. Dan disinilah aku, kembali ke tempat asalku, Canada. Setelah bersusah payah untuk melupakan walaupun semua itu gagal karena dia-justin, telah kembali.

--

"Terimakasih." ucapku masih dengan senyuman bahagia yang sama seperti beberapa jam yang lalu.

"Terimakasih." Balasnya sembari memelukku. "Terimakasih telah menu ggu."

"Begitupun kau. Pulanglah, ini hampir pukul dua belas." ucapku sembari melepas pelukannya, "Kumohon hati-hati."

Dia-justin, mengecup puncak kepalaku lembut. Dia benar-benar kembali secara utuh dan aku masih tak percaya akan hal ini. "Tenang saja, aku naik mobil, bukan naik motor."

Perlahan tubuhnya menjauh dan memasuki mobil yang ikut menjauh pula. Ingin sekali waktu berhenti kali ini juga, kesenangan itu selalu terasa sekarang, pengorbananku tak berakhir dengan sia-sia. Bagaimanapun caranya, aku akan berusaha untuk tetap seperti ini tanpa ada yang berubah satu sama lain.

Aku segera masuk untuk mengganti pakaian menjadi pakaian tidur. Memori ini akan selalu terekam dalam pikiranku dan justin. Dalam memori justin, telah terpampang lagi sosok diriku yang hadir kepadanya. Tuhan memang sangat adil.

--

"Kau masih lelah?" suara pelan membuatku berusaha untuk membuka mata, sorotan lampu kamar yang menyilaukan membuatku menyipitkan mata, "Astaga ternyata kau mendengarku!"

"Justin?" ucapku sembari mengerutkan kening.

"Ini sudah jam sembilan pagi dan ternyata kamu adalah perempuan pemalas. Ayo kita olahraga!" ucapnya menarik selimut dari tubuhku.

"Astaga! Aku ini lelah, biarkan aku tidur dulu!"

Sekarang, justin berdecak, "Bagaimana dengan anak kita jika kau saja belum bangun jam segini?" aku yang berusaha untuk memasuki alam mimpi, langsung membuka mata lebar.

"Anak?! Jangan berpikiran jauh dahulu!" kataku sembari melempar bantal yang tertangkap olehnya. Dia menaikkan kedua bahunya dan mengerutkan kening,

"Memangnya kenapa? Kita ini berkepala dua, wajar bukan?"

"Aku baru lulus!"

"Lalu?"

"Aku harus bekerja dulu!"

"Kerja?! Biar aku saja, kau menjaga anak-anak."

"Aku tak mau menyia-nyiakan usahaku saat kuliah kemarin, harus ada hasilnya." kemudian hening, "Ya ampun kenapa membicarakan ini?! Memuakkan sekali, kita olahraga saja!"

Justin menahan tawa melihatku yang mengoceh sendiri. "Keluarlah, aku mau mempersiapkan diri."

"Memangnya kenapa kalau aku disini? Sebentar lagi kan kita akan..."

"JUSTIN!" teriakku kesal. Justin yang melihat tingkahku hanya bisa menahan tawa sembari keluar dari kamar.

--

Aku dan justin melangkahkan kaki bersama, berdampingan. Lari kecil di sekitar komplek bersamanya adalah salah satu dari hal-hal yang indah.

"Siapa yang sampai di kursi sana duluan, pemenang!" ucap justin tiba-tiba. Tanpa persetujuanku, dia memberi aba-aba, "SATU! DUA! TIGA!"

Gila! Dia memang gila! Seenaknya saja, sudah tau aku ini lelah. Dengan sekuat tenaga aku berlari berusaha untuk menyamakan langkah dengan justin, tapi sayang, langkah dia sangat lebar dan cepat. Jelas saja aku lelah. Alhasil, dia yang menang.

"Olahraga tuh yang sering, begini saja kalah." ucapnya santai dengan nada meremahkan, dan aku yang sangat sangat sangat lelah ikut duduk di kursi sebelah yang kosong.

Aku menjitak kepalanya, "Kekuatan laki-laki dan perempuan itu berbeda!" ucapku sembari ngos-ngosan berusaha untuk kembali bernapas normal.

"Napasmu sungguh tak beraturan. Aku beli minum dulu ya." ucapnya beranjak dari kursi dan aku hanya mengangguk. Tak lama, seorang perempuan duduk di kursi yang justin tempati tadi, aku menoleh dan mengerutkan kening,

"Sonya?" dia menoleh dan menatapku bingunh selama beberapa detik hingga akhirnya membulatkan mata sempurna.

"Gea?! Apa kabar?!"

Aku memeluknya rindu, "Sangat baik. Kau?"

"Sangat baik pula, sendirian?"

Aku menggeleng dan tersenyum, "Sama justin."

"Masih sama justin? Awet sekali!" aku tersenyum. Ya, tak seawet yang dia bayangkan. "Terus dia dimana?" lanjutnya.

"Lagi beli minum, bentar lagi juga datang." dia mengangguk-angguk. Sonya adalah teman sekelasku dan justin di senior high school. Rumahnya memang tak jauh dari kami. Tak lama, justin menghampiri kami berdua.

"Sonya?" ucapnya sembari memberikan sebotol minum ke arahku.

"Justin! Hi, sudah lama tak bertemu."

"Ah ya, sendirian?"

"Ya. Baiklah, aku tak ingin mengganggu kalian. Kapan-kapan aku boleh main ke rumah kalian kan?"

"Tentu saja." jawabku dan justin bersamaan.

Dear Justin (Always, you)Where stories live. Discover now