"Goodluck. Berdoa dahulu, aku tau kau akan lulus." Justin masuk ke ruangan musik yang berbeda saat awal kita masuk. Aku menunggunya di dalam mobil. Aku memainkan hpku dan menoleh ke arah dashboard karena suara hp lain yang berbunyi. Aku mengerutkan kening dan mengikuti asal suara, hp justin tertinggal. Sebuah telepon masuk dengan nomor yang tak dikenal.
Aku membuka lockscreen dan langsung tersenyum sumringah. Fotoku dia jadikan wallpaper. Entah, jariku bermain di layar hp justin dan memutuskan untuk melihat pesan masuk. Nomor tak dikenal yang tadi menelepon justin memberikan sebuah pesan yang sebelumnya telah dibaca oleh justin. Aku semakin mengerutkan kening dan menbuka pesan-pesan tersebut.
"Kau akan kehilangannya."
"Percaya padaku."
"Lebih baik mengikuti saranku atau kau akan kehilangan sosok dambaan hatimu?"
"Aku sama sekali tak bercanda."
Aku bergidik. Sebuah teror? Apa ini salah sambung? Aku mencoba untuk menghilangkan semua pikiran negatifku. Aku menaruh hp justin ke tempat semula. Setengah jam kemudian, justin keluar dari gedung mendekati mobil, pikiranku benar-benar berantakan.
Justin membuka pintu mobil dan tersenyum, "Aku diterima."
"One day one test? Astaga itu menakjubkan!"
Justin terkekeh, "Sekolah dimulai dua bulan lagi. Kita bisa menghabiskan waktu di indonesia."
Aku membulatkan mata lebar, "Jadi?! Okay, karena kau lulus, aku akan membayarkan tiket pesawat pergi dan pulang. Jangan membantah!"
Setiap aku menatap justin yang menyetir, saat itu juga aku mengingat teror itu. Aku menutup mata sebentar dan membukanya secara perlahan,
"Justin."
"Hm?"
"Sepertinya tadi kau meninggalkan hp. Tadi ada telepon masuk."
Justin yang menyetir langsung menghadapku sekilas, "Siapa?"
Aku mengangkat kedua bahu, "Tak ada nomornya. Jadi aku tak berani mengangkat." aku tak berani memberitahu pesan itu.
"Mungkin salah sambung. Abaikan saja. Sekarang, kita kemana?"
"Ini harimu. Terserah kau."
--
Aku dan justin memutuskan untuk ke taman biasa di dekat rumah, memakan waffle dari toko yang tak jauh dari taman. Hp justin tiba-tiba berbunyi tanda telepon masuk, dia merogoh dari sakunya dan melihat sebentar layar handphone lalu mengabaikan telepon tersebut.
"Kenapa tak diangkat?" tanyaku mengerutkan kening. Atau itu orang yang meneror?
Justin tersenyum menatapku, "Aku tak mau ada orang yang mengganggu kita."
"Bagaimana jika itu penting?"
Justin menghela napas pelan, "Itu tak penting."
Aku menatap wajahnya. Wajah takut? Ya, wajah itu terpancar. Teror itu memang tak bercanda. Aku menanyakan hal yang benar-benar tak aku pikirkan dahulu,
"Bagaimana jika kau kehilanganku?"
Justin membulatkan mata lebar, "Apa yang kau bicarakan?! Astaga! Tentu saja tidak."
"Oh ayolah, aku hanya bertanya."
Justin berdecak, "Apa maksudmu? Jangan gila!"
"Jika aku menghilang tiba-tiba. Kau akan mencariku?"
"Gea. Jangan membuat hari indahku menjadi buruk. Nikmatilah keadaan sekarang, itu benar-benar tak lucu."
Aku mengangguk pasti.
Justin's
Kurasa ini hari terbaikku karena aku bisa melanjutkan pendidikan di dunia musik. Hari terbaik itu tergantikan oleh hal buruk yang datang. Siapa dia? Apa maunya? Apa dia wanita? Atau lelaki? Kenapa terornya sangat tak lucu? Apa dia tak bercanda? Apa maksud perkataan gea tadi sore di taman? Kenapa semua ini berhubungan? Apa jangan-jangan gea menjahiliku? Apa ini semua rencana gea?
Aku menghela napas berat. Jika ini memang tak bercanda, apa aku akan kehilangan sosok orang yang aku cintai lagi untuk kedua kalinya? Ini jam satu malam dan aku benar-benar tak bisa tidur.
Aku tahu aku tak akan kehilangan gea, aku tahu gea tetap akan memilihku, dan aku tak mau usahaku untuk mengingatnya sia-sia, aku tak mungkin membiarkannya pergi begitu. Ini benar-benar teror yang sangat bodoh. Kenapa begitu dramatis sekali? Memangnya aku ini aktor yang sedang main film?
Aku menghela napas berat lagi untuk yang kesekian kalinya dan berusaha untuk menutup mata masuk ke alam mimpi walaupun ini adalah hal yang benar-benar sulit. Aku menatap layar handphone, berniat untuk menghubungi sang peneror tapi jari ini berhenti ketika akan menekan tombol 'call'.
Aku akan sangat menyesal jika aku tak dapat menjaga gea. Sesibuk apapun aku, aku akan selalu menghubunginya. Teror bodoh itu akan aku abaikan, mungkin. Aku yakin peneror itu menginginkan salah satu diantara aku dan gea. Antara orang yang menyukaiku, atau bahkan orang yang menyukai gea.
Gea's
Ini jam satu malam dan aku benar-benar tak bisa memejamkan mata. Aku menatap layar handphone untuk menelepon justin, tapi aku tak ingin mengganggunya tidur, aku tak mungkin membiarkan istirahatnya terganggu hanya karena aku tak bisa tidur. Pikiran ini selalu tertuju pada teror sialan itu. Apa yang akan terjadi jika kami membiarkan itu? Apa aku harus meninggalkan justin? Tidak! Itu tak mungkin. Usahaku akan sia-sia jika aku tiba-tiba meninggalkannya begitu saja.
YOU ARE READING
Dear Justin (Always, you)
FanfictionDear Justin, terimakasih telah menepati semua kata-kata yang kau ucapkan. Terimakasih telah menunggu. Aku rela mengulang semuanya dari awal, bersamamu. Kenangan itu memang tak akan kau ingat tapi akan selalu ada dalam otakku. Memori yang selalu tert...