Enam

562 66 2
                                    

"Jadi?" ucap justin tiba-tiba. Aku yang sedang meminum segelas air mengangkat kedua alis. "Kau tak cemburu lagi kan?"

Aku berdecak, "Sudah kubilang aku tak cemburu."

"Aku tau semua tingkah anehmu gea. Tak penting dia suka aku atau gak, yang penting sekarang, aku dengan kau kan?" aku mengangguk pasti. Dia benar, aku tak usah cemburu jika sonya memang menyukai justin.

"Aku rindu bandung."

"Kita kesana?" tanya justin. Aku langsung membulatkan mata lebar,

"Ayo! Sebelum kau masuk sekolah! Sekarang, kita cari dulu sekolah untukmu. Bagaimana?"

--

Justin pulang. Aku berdiam diri di kamar dan dikagetkan oleh suara handphone tanda telepon masuk. Tertera nama rafi, aku langsung mengangkatnya.

"Selamat malam waktu sana." ucapnya dari sebrang sana.

"Selamat pagi. Ada apa? Dia lagi?"

"Lusa aku ke jakarta. Kurasa fanny sudah baikan, dia mau berbicara denganku lagi, bahkan sekarang dia membantuku membereskan baju dan barang-barang untuk dipindahkan."

"Senang mendengarnya. Berhati-hatilah. Kau naik apa?"

"Travel. Sabtu malam aku akan berangkat. Senin aku mulai bekerja. Doakan aku."

"Selalu. Aku merindukan Indonesia. Mungkin dalam waktu dekat ini, aku akan kesana bersama justin."

"Datang ke kosanku!" ucapnya bersemangat.

"Tentu saja. Sebelum mengunjungi bandung, kita akan mampir dulu untuk menemui kau. Aku akan memberitahumu lagi jika akan kesana. Sediakan makanan yang banyak."

"Bawakan oleh-oleh." ucapnya lagi.

"Hm."

--

Dua hari kemudian.

Rafi memberitahu bahwa dia sedang berangkat menuju jakarta. Entah ada hubungan apa dengan rafi dan fanny, yang jelas rafi menceritakan bahwa fanny marah kembali saat rafi akan berangkat. Aku memberitahu justin tentang rafi pula. Aku yang sedang menonton televisi dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka, justin datang.

"Hi!" aku berteriak, dia menghampiriku dengan wajah yang....datar? Ada apa dengannya? "Justin?"

Justin langsung duduk dan menghadapku serta menatapku tajam, "Kau pernah berhubungan apa dengan rafi?"

Aku mengerutkan kening, "Maksudmu?"

"Apa yang pernah kau lakukan dengan rafi?"

"Astaga justin apa maksudmu?!" ucapku bingung.

"Kau mantannya rafi?" aku terdiam. Bagaimana dia tahu? Aku sama sekali tak pernah menyinggung rafi pernah menjadi pacarku kepada justin. "Kau tak menjawab. Kau mantannya rafi kan?"

"Memangnya ada apa? Kenapa kau terlihat kesal sekali?"

Justin berdecak, "Tak usah basa-basi. Aku tahu kenapa kau ingin ke Indonesia, karena merindukan rafi bukan? Karena di Indonesia kau bisa bersenang-senang bersama rafi bukan? Karena kamu masih menyimpan rasa untuk rafi kan? Kau belum melupakan dia kan? Kau bilang dia sahabatmu. Kau bilang kalian hanya berteman. Tapi kalian pernah berhubungan serius kan?"

"Justin! Itu masa lalu! Bagaimana kau tahu? Apa maksudnya? Oh ayolah jangan membuatku terlihat bodoh!"

Justin beranjak dari kursi dan menatapku lebih tajam, "Asal kau tahu. Rafi masih mencintaimu. Dia tak bisa melupakanmu. Aku pun tahu sampai sekarang kau masih berhubungan dengannya. Aku tahu kau selalu bertelpon dengannya. Mengucapkan selamat pagi, selamat malam, selamat tidur. Ada berapa banyak cowok yang kau rayu? Selain aku dan rafi?"

Aku beranjak dan menamparnya cukup keras. Tidak. Tapi sangat keras. Dia gila?! Dia kerasukan apa?! Seumur hidupku aku belum pernah mendengar kata-kata kurang ajar dari mulutnya. Aku balas menatapnya,

"Apa fanny memberitahumu?" entah, pikiranku langsung tertuju ke arah fanny. Fanny yang memberitahu hal-hal negatif kearah justin. Siapa lagi?

"Tak peduli aku tahu darimana! Bersenang-senanglah dengan rafimu! Selagi kau bersenang-senang, aku akan bersenang-senang dengan SONYA." Ucapnya menekankan kata sonya ke arahku. Aku membulatkan mata lebar. Terdiam. Ini benar-benar gila. Entah apa yang harus aku lakukan. Membiarkannya pergi atau aku mencegahnya. Akhirnya, aku membiarkannya pergi.

Aku menatapnya hingga dia menghilang dari balik pintu. Aku menghempaskan diriku ke kursi dan menangis. Untung saja aku tak ada orang. Untung saja justin marah saat rumah kosong. Aku langsung mengambil handphone dan memencet nomor rafi. Aku menelponnya. Tak lama, dia mengangkatnya.

"Gea? Ada apa?" aku terisak. Sulit untuk berbicara. Aku mengambil napas dalam-dalam, "Gea?! Kau menangis?! Ada apa?! Kenapa?! Justin?!"

Aku menghela napas dalam-dalam lagi, "Kau dengan fanny bertengkar karena apa?"

"Aku tak tahu. Tiba-tiba saja dia marah."

"Tolong tanyakan alasan kenapa dia marah. Aku membutuhkan itu secepatnya."

"Gea aku benar-benar tak mengerti! Memangnya ada apa?"

"Aku menunggu telepon darimu." ucapku parau dan menutup telponnya. Pergerakan di layar televisi tak membuat aku fokus. Aku langsung mematikannya dan berjalan menuju kamarku, menbanting pintu kencang-kencang dan menguncinya. Kenapa justin seperti ini? Apa yang membuatnya seperti ini? Apa aku harus menelponnya?

Pikiran yang kacau akhirnya membuatku terlelap. Aku terbangun karena suara handphone, rafi. Rafi meneleponku.

"Bagaimana?" ucapku langsung. Tak ada jawaban. "Rafi?"

"Maafkan aku." jawabnya pelan.

"Maaf? Maaf kenapa?"

Dear Justin (Always, you)Where stories live. Discover now