Dua

730 73 0
                                    

Justin mampir dahulu di rumahku, saat membuka pintu rumah, wangi khas dari masakan nenek langsung menusuk lubang hidung kami berdua. Nasi goreng.

"Nenek membuat nasi goreng! Kuharap dia membuatnya banyak!" ucap justin sumringah.

"Jaga porsi makanmu! Kau ini baru olahraga. Nanti tak berguna."

"Aku benar-benar tak peduli. Yang penting aku tetap tampan walaupun gemuk." aku memutar bola mata,

"Percaya diri sekali!"

"Tapi kau tetap cinta kan?" ucapnya dengan senyum yang so' menggoda. Baiklah, memang menggoda.

"Terserah." ucapku sembari meninggalkan justin yang akan menonton tv, aku ke dapur dan melihat nenek dengan lincahnya menggerakkan tangan yang memegang spatula. "Selamat pagi!"

"Sudah olahraganya? Beri justin minuman, kasian dia tak disediakan." aku berdecak,

"Tak usah nek. Ini sudah dia anggap rumah sendiri, nanti dia juga ngambil sendiri, mungkin dia tahu semua letak makanan yang disini."

"Walaupun setelah kecelakaan?" aku terpaku. Ya, justin pasti belum mengetahuinya lagi saat ini. Gea, kau sungguh bodoh. Jelas-jelas itu kejadian beberapa tahun yang lalu dan justin tak mungkin ingat.

Aku tak menjawab pertanyaan nenek dan berbalik ke arah kulkas untuk memberikan minuman ke justin. Dua gelas yang berisi jus jeruk segar kusimpan di atas meja hadapan justin. "Minumlah." ucapku, "Jika kau ingin minum, bisa ambil saja di kulkas atau dispenser pun ada. Di sebelah kulkas pun ada lemari makanan yang berisi cemilan, jika ingin memasak sendiri, sudah tersedia bahan makanan yang di dapur."

Justin menatap mataku lekat-lekat dan sebuah senyuman muncul dari wajah tampannya yang lelah sehabis olahraga, "Terimakasih."

"Untuk?"

"Membantuku mengembalikan memori yang hilang."

Aku tersenyum, "Aku tak mengembalikannya. Aku hanya berusaha untuk membuat memori baru yang hampir sama layaknya dahulu. Kita mengulangnya dari awal bukan?"

Justin mengangguk pasti dan menyeruput jus jeruknya. Aku akan selalu membantumu justin, selalu.

--

"Lapar atau doyan?" ucapku menahan tawa melihat justin menyantap nasi goreng yang nenek buat. Aku, justin, mom, nenek, dan tante sarapan bersama di ruang makan.

"Kuakui ini adalah masakan Indonesia yang terenak!"

"Enak mana sama yang punya gea?" tanya nenek yang ikut menahan tawa.

"Gea kalah." ucap justin masih melahap makanan yang sama.

"Baiklah, aku tak akan membuatkannya lagi untukmu." ucapku.

"Astaga! Ini pilihan yang sulit. Baiklah, masakan kalian nyaris sama."

--

Justin telah pulang. Aku segera membersihkan diri, sekarang pukul satu siang dan aku memutuskan untuk menonton televisi. Tiba-tiba dentingan suara handphone bertanda ada telepon masuk membuatku menghampiri meja kecil sebelah kasur untuk mengambilnya, tertera nama 'Rafi' di layar. Aku mengerutkan kening, disana pukul satu malam dan dia belum tidur?

Aku mengangkatnya, "Selamat malam waktu sana."

"Selamat siang waktu sana." balasnya. "Bagaimana kabarmu?"

"Kau belum tidur?"

"Aku tak bisa memejamkan mata dan kau belum menjawab pertanyaanku."

"Oh ya, aku baik-baik saja. Sangat baik."

"Justin?"

"Dia baik. Kami baru berolahraga bersama, bagaimana dengan fanny?"

"Dia sangat baik. Hanya saja akhir-akhir ini dia marah, mungkin PMS."

Aku mengangkat kedua bahu walaupun rafi tak akan melihatnya, "Ada apa menelpon?"

"Kabar baik!" jawabnya dengan nada yang bersemangat. Aku mengangkat kedua alisku,

"Apa?"

"Aku akan bekerja minggu depan!"

"Serius?! Astaga! Dimana?"

"Di jakarta, dan kurasa itu yang membuat fanny marah."

"Jakarta? Kau akan pindah ke jakarta?"

"Ya, aku melamar kerja di Bandung, tak ada satupun yang menerima. Akhirnya aku mencoba di jakarta, PT Rekayasa Industri, dan aku diterima."

"Kau akan tinggal dimana?" tanyaku penasaran. "Kurasa tak semuanya kabar baik."

"Kos mungkin."

"Tentu saja fanny marah, kurasa dia tak tahan apabila jauh dari sosokmu." ucapku menahan tawa. "Aku bercanda."

Rafi menghela napas berat, "Aku merindukanmu." aku tak menjawabnya, "Kapan kesini?" lanjutnya.

"Secepatnya. Aku akan memberitahumu jika kesana. Sebelum ke bandung, mungkin aku akan ke jakarta untuk menemui dirimu." jawabku. "Jadi, bagaimana denganmu dan fanny?"

"Entah. Hari ini dia tak mau berbicara denganku. Ini benar-benar keputusan yanh berat. Aku tak mungkin menyia-nyiakan pekerjaanku tapi akupun tak mungkin untuk meninggalkan fanny."

"Dia hanya belum terbiasa. Ayolah, bandung jakarta itu bukan wilayah yang berjauhan!"

"Ya. Kau benar. Baiklah, aku mengantuk. Selamat siang, terimakasih gea."

"Selamat malam dan selamat tidur."

Dear Justin (Always, you)Where stories live. Discover now