Empat Belas

473 66 0
                                    

Skenario yang tak diinginkan muncul. Drama yang dibuat tak seindah yang dibayangkan. Kehidupan yang baru tak sesuai dengan harapan. Kepercayaan adalah hal yang paling sulit untuk dijanjikan. Keretakan itu mulai muncul dan mengakibatkan semuanya pecah. Dua hati yang kembali untuk memulai yang baru mulai berubah.

--

"Lepaskan." aku menutup mataku.

Justin terdiam dan memelukku lebih erat, "Tolong percaya padaku. Aku.....ini bukan seperti yang kau bayangkan."

"Aku percaya padamu, tapi tolong lepaskan." justin perlahan melepaskannya, aku masih memunggunginya.

"Jika kau percaya, kenapa kau masih akan tetap pergi?"

"Aku tak sehina itu. Aku percaya padamu tapi kau tetap tak bisa mengubah semuanya. Aku butuh waktu. Aku pulang. Tolong, jangan menahanku lagi." aku langsung melangkahkan kaki menuju taksi yang sempat aku pesan tadi untuk menuju stasiun kereta. Sekarang, justin tak menghalangiku lagi untuk pergi dan aku tak peduli dia mengikutiku atau tidak, aku sama sekali tak ingin menatapnya.

Aku merogoh handphoneku dan menelepon rafi, aku yakin dia sibuk dan aku menganggunya.

"Rafi, kau sedang apa?" sapaku langsung saat dia mengangkatnya dan kurasa suaraku parau.

"Aku sedang istirahat. Ada apa?"

"Boleh aku ke rumahmu?"

"Ada apa?"

"Ceritanya panjang. Boleh aku ke rumahmu?" suaraku kali ini terdengar parau lebih jelas.

Aku dapat mendengar rafi menghela nafas, "Justin." aku hanya terdiam tak menanggapinya, "Kau dimana?"

"Aku masih di bandung menuju stasiun. Aku menggunakan kereta."

"Akan kujemput."

"Aku akan sampai sekitar pukul dua siang dan itu masih jam kerja. Aku akan menunggumu."

"Aku tak mungkin membiarkan kau sendirian, aku jemput. Jangan memikirkan hal apapun. Aku jemput." dia mengatakannya beberapa kali untuk tetap menegaskan jangan membantah.

--

Aku turun dari kereta menuju ke arah tunggu dan mendapati rafi yang berdiri sembari meminum segelas kopi di genggamannya. Aku mendekat ke arahnya yang belum menyadariku,

"Rafi!" aku langsung memeluknya. Dia terdiam dan tak lama membalas untuk memelukku dan mengusap kepalaku dengan satu tangannya karena dia masih menggenggam segelas kopi. Entah, aku benar-benar lemah hari ini dan aku kembali menangis.

"Kita pulang." rafi melepaskan pelukanku dan segera membawa koperku. Aku mengikutinya di samping dan terdiam selama perjalanan menuju mobil.

"Apa masalahnya?" tanya rafi sembari  menghidupkan mesin mobil.

"Justin."

"Aku tahu. Ada apa dengannya?"

"Fanny." rafi mengerutkan kening dan menatapku. Aku berbalik menatapnya dengan wajah yang pasti terlihat kacau.

"Fanny? Kau bertemu dengannya?" mobil perlahan maju.

"Aku dan justin menuju rumah fanny tadi pagi. Rumahnya kosong, aku dan justin menunggu di ruang tamu karena fanny sedang menyiapkan minum. Kemudian justin ke toilet. Lima menit, satu dari mereka tak ada yang keluar. Aku langsung masuk ke dalam dan menuju toilet tapi tak ada siapapun. Aku langsung menuju dapur, mendengar suara desahan dan mendapati justin....fanny....." aku benar-benar tak ingin membicarakan ini, ini hanya terpaksa agar rafi tak bingung. Aku menangis lagi, suaraku terdengar jelek, isakan pun muncul kembali.

"Aku....aku mengerti." ucap rafi akhirnya. Aku langsung menghentikan ucapanku. "Kenapa?" tanya rafi pelan. Aku yakin dia terkejut karena seorang fanny. Begitu pula denganku yang terkejut karena seorang justin.

"Aku benar-benar tak mengerti. Maaf aku merepotkanmu dan membuatmu masuk ke dalam ceritaku."

"Jangan berbicara seperti itu. Kau ini masih sahabatku, kau ini masih berharga untukku. Jangan sungkan untuk mengatakan semuanya. Aku akan selalu melindungimu." aku tersenyum tipis dan ketenangan menjalar ke tubuhku.

Kami sampai, aku langsung menuju bagasi untuk mengambil koperku. Rafi membukakan pintu, aku segera masuk dan terduduk di ruang tengah. Kosannya seperti rumah, ini bukan seperti kos-an.

"Bersihkan dirimu. Aku akan membuatkan makan malam. Aku yakin kau belum makan daritadi siang."

--

Rafi membuatkanku telur, nasi, dan kornet yang dicampur. Sungguh, itu sangat enak atau mungkin ini efek perut yang terakhir diisi saat sebelum ke rumah fanny. Untung saja aku tak pingsan di perjalanan.

"Apa justin menghubungimu?" tanyanya sembari menyuapkan makanan ke mulutnya. Aku mengangkat kedua bahuku,

"Aku silent handphoneku. Aku belum memeriksanya setelah bertemu denganmu." suara handphone rafi berbunyi di atas meja makan yang sekaligus menimbulkan getaran.

"Justin." ucap rafi menatap handphoneku.

"Tak usah diangkat."

"Astaga! Dia ini kekasihmu!"

Apa aku masih menjadi kekasih justin? Diriku sendiri saja bahkan tak tahu bagaimana hubungan ini akan berlanjut. "Kita sedang makan rafi! Itu sangat tak sopan. Nanti saja." rafi terdiam dan mengalah. Seketika pula aku mengingat justin mengucapkan hal itu.

Aku membereskan semua piring bekas makan dan mencucinya, sepertinya rafi sedang membersihkan diri, karena dia pulang langsung masak dan makan bersamaku. Aku mengambil handphoneku di ruang tengah. Baiklah, kurasa ini bukan kosan, ini seperti rumah kontrakan, hanya saja rafi menyebutnya kosan, so' merendah.

Aku menatap handphoneku, mendapati 37 misscall dari satu jam yang lalu, tentu saja semua itu dari justin. Tak lama, telepon datang lagi. Aku memutuskan untuk mengangkatnya.

"Apa?" tanyaku langsung tanpa menyapanya terlebih dahulu.

"Kau dimana?"

"Aku di bandara. Aku mau pulang."

"Jangan bercanda. Kau dimana?"

"Kenapa kau harus tau?"

"Karena aku ini kekasihmu!" ucapnya sedikit membentak dan berteriak.

"Kau masih menganggapku kekasih?"

Dia terdiam cukup lama dan akhirnya menjawab, "Aku masih mencintaimu."

"Apa kau mencintai fanny juga?" tepat saat itu rafi datang dari kamarnnya dan menghampiriku. Dia mengangkat alis tanda 'siapa?'. 'Justin' aku mengucapkan tanpa suara.

"Tentu saja tidak!"

"Kenapa kau melakukan itu dengan fanny tetapi kau tak mencintainya?!" sekarang aku membentaknya.

"Karena kau tak mengerti!" dia membentakku lagi.

"Ya! Aku memang tak mengerti dan kau tak memiliki alasan untuk itu semua!" aku langsung memutuskan sambungan telepon dan melemparnya ke lantai tanpa peduli itu akan rusak atau tidak. Bahkan aku berharap itu rusak.

Dear Justin (Always, you)Where stories live. Discover now