Maaf udah lama ga update. Minggu ini lagi ada ujian praktek dan kalian taulah bagaimana nasibnya :')
Gea's
Aku membuka mataku perlahan, menangkap sebuah cahaya yang masuk melewati celah dari jendela. Aku segera mengambil hp dan mengirim pesan ke justin, ucapan selamat pagi. Beberapa menit kemudian hp ku berbunyi tanda telepon masuk dan tertera nama justin.
"Selamat pagi." ucapnya saat aku mengangkat telepon.
"Pagi." balasku singkat.
"Mimpi indah?"
"Entah. Kau?"
"Buruk. Aku tak bisa tidur dan aku baru memejamkan mata pukul dua. Awalnya aku ingin menghubungimu tapi aku tahu kau beristirahat."
"Perkiraanmu salah. Aku tak bisa tidur dan aku pun baru tidur sekitar pukul segitu. Awalnya aku ingin menghubungimu pula. Kenapa kau tak bisa tidur? Bukannya kemarin adalah hari terbaikmu?"
"Astaga! Benarkah? Tau gitu aku menelponmu tadi malam. Antara baik dan buruk."
"Buruknya?"
Justin menghela napas berat, "Ada hal yang tak beres. Sudahlah, kurasa itu tak penting."
Ya. Pasti justin memikirkan itu. Aku pun berusaha untuk mengabaikan semua itu, "Ya sudah. Jadi, kapan kita ke indonesia? Aku berhutang tiket pulang dan pergi."
"Minggu depan?"
Aku membulatkan mata, "Serius?!"
"Kenapa tidak?"
"Baiklah, aku akan menghubungi rafi secepatnya. Kita akan berkunjung ke rafi dahulu, baru ke bandung."
--
"Minggu depan."
"Minggu depan?! Astaga! Aku akan mengirimkan alamatku. Kutunggu kau minggu depan. Sudah berapa lama kita tak bertemu? Ya ampun!"
Aku terkekeh, "Aku tau kau merindukanku, rafi. Jangan bilang aku ini terlalu percaya diri karena fakta itu benar. Aku tak lupa membawa pesananmu. Mungkin aku akan berada di jakarta selama satu minggu dan di bandung dua minggu."
"Itu bukan waktu yang sebentar. Lama sekali? Kalian disana tak ada kegiatan?"
"Justin mulai sekolah musik dua bulan lagi dan aku belum mencari kerja, jadi kita belum ada kegiatan apapun."
"Aku akan menjemput kalian di bandara."
"Terimakasih rafi. Kuakui kau ini memang baik dan tolong jangan percaya diri walaupun fakta itu memang benar." rafi pun terkekeh. Aku yang berbincang dengan rafi di kamar tidur dikejutkan oleh suara pintu kamar yang terbuka.
Aku mengisyaratkan bahwa aku menelpon rafi dengan menggoyangkan mulut tanpa mengeluarkan suara, kepada justin. Dia mengangguk. Justin berjalan-jalan mengelilingi kamarku, melihat tiap sudut. Aku tetap berbincang dengan rafi sekitar lima menit dan menutupnya kembali.
"Dia akan menemani kita selama di jakarta." justin mengangguk lagi. Dia masih tetap berjalan-jalan di kamarku. "Asik sekali? Memandangi apa?"
"Kurasa aku belum pernah mengelilingi kamarmu seperti ini. Kuakui kamarmu cukup rapi."
Aku memutar bola mataku, "Kau terlalu tak perduli dengan keadaan sekitarmu, kamarku itu memang rapi."
"Kau percaya diri sekali!" justin tiba-tiba berhenti di suatu kotak kecil. "Ini apa?" tanyanya sembari menyentuh kotak itu.
"Buka saja." kenanganku bersama rafi, dahulu. Kuharap justin tak marah, kurasa justin mengerti kenapa aku menyimpannya, dan akupun mengerti kenapa dia menyimpan caitlin. "Kalian berdua memang cocok." ucap justin masih berdiri dan mengobrak-ngabrik kotak kecil itu sedangkan aku hanya menatapnya dari tempat tidur.
"Kau dengan caitlin pun cocok."
"Tapi aku tetap memilihmu."
"Dan aku tetap memilihmu." balasku, "Tapi, jika caitlin tak pergi, apa kau akan tetap memilihku?" tanyaku spontan. Astaga gea, tentu saja jawabannya tidak. Justin ini memilihku karena dia kehilangan caitlin dan karena dia kehilangan caitlin, dia mencoba untuk mengingatku dan menyusun kenangan itu dari awal.
"Takdir tak ada yang tau. Tuhan berkata lain, dan mungkin walaupun caitlin masih ada, kau tetap denganku jika tuhan menginginkannya begitu." justin menghela napas, "Walaupun dalam jangka waktu yang lama untuk menjadi milikku."
"Ya. Kau benar." Takdir, dia memang benar. Jika aku dan justin bersama, seberat apapun ketidakinginan datang, pasti memiliki hasil yang indah. "Kau sudah packing?"
Justin membereskan kotak itu dan berbalik mendekati sembari menatapku, "Belum. Mau membantu?"
"Dengan senang hati."
--
"Hati-hati sayang. Jaga dirimu baik-baik." ucap mom di bandara. Ini bukan perpisahan yang panjang, aku berani mengajak mom ke bandara untuk melihatku pergi tanpa mengeluarkan air mata. Nenek dan tante pun ikut, dan tentu saja pattie.
Pattie memeluk justin dan aku bergantian, "Justin, jaga gea. Gea, jaga justin." kami mengangguk, pattie membisikkan sebuah kalimat ke telingaku, "Jika justin menyakitimu, hubungi aku. Aku akan memberikan sesuatu untuknya jika hal itu terjadi." aku terkekeh dan justin melihat kami berdua dengan rasa yang penasaran.
"Ini masalah wanita." ucapku sembari menahan tawa.
"Hubungi kami semua jika telah sampai." pesan mom.
Aku dan justin mengambil koper-koper kami yang membawa cukup banyak makanan, pakaian, dan barang bawaan. "Aku benar-benar tak sabar!" ucapku dengan nada yang sumringah.
YOU ARE READING
Dear Justin (Always, you)
FanfictionDear Justin, terimakasih telah menepati semua kata-kata yang kau ucapkan. Terimakasih telah menunggu. Aku rela mengulang semuanya dari awal, bersamamu. Kenangan itu memang tak akan kau ingat tapi akan selalu ada dalam otakku. Memori yang selalu tert...