Aku mengerutkan kening bingung, "Maaf. Maaf kenapa?" rafi tak menjawab lagi, "Jangan membuatku semakin pusing."
"Kenangan kita." ucapnya pelan.
"Kenangan? Kenangan apa?"
"Foto-fotoku saat masih bersamamu aku simpan di salah satu kotak di kamar dan kurasa fanny menemukan itu." sekarang, aku terdiam. Sekarang, siapa yang harus disalahkan? Tak ada. Rafi menghela napas berat, "Dia mengira aku masih mencintaimu dan kurasa fanny menghubungi justin untuk memberitahu hal ini. Sumpah, aku mencintaimu, hanya sebagai sahabat. Aku hanya menyimpan kenangan itu baik-baik, apa aku salah?"
Aku mengambil napas dalam-dalam, "Tak ada yang bisa disalahkan. Aku harus mengunjungi justin sekarang juga. Terimakasih rafi."
"Gea. Maafkan aku."
Aku tersenyum simpul walaupun dia tak akan melihatnya, "Sungguh. Aku baik-baik saja. Nikmatilah pekerjaanmu, tak usah memikirkan hal yang lain. Aku harus menghubungi fanny."
"Aku akan menjelaskan ke fanny baik-baik."
--
Dengan berani, aku melangkahkan kaki menuju gerbang yang telah terbuka sebelumnya. Layaknya memasuki rumah asing, aku berjalan sangat pelan. Aku mengetuk pintu karena terkunci, tak lama pattie membukanya.
"Gea? Kau kenapa? Matamu sangat merah." astaga! Sungguh memalukan. Bodohnya tadi aku tak ngaca dulu saat hendak pergi.
"Aku mengantuk. Mungkin jadi merah. Justin ada mom?"
"Kau ada masalah ya sama justin?" ucapnya sembari mengelus rambutku. Aku tak berani menjawabnya. "Justin belum pulang daritadi. Aku tak tahu dia dimana. Kukira dia ke rumahmu."
"Terimakasih mom." aku tersenyum dan melangkahkan kaki menjauh dari rumah justin dan kaki entah kenapa terus membawaku ke arah taman yang biasa aku kunjungi bersama justin.
Dugaanku benar, justin duduk terdiam di salah satu kursi panjang yang kosong. Aku mendekat perlahan berusaha untuk tak mengeluarkan suara. Aku menyentuh pundaknya perlahan dan dia menoleh secara cepat ke arahku lalu berbalik lagi dan beranjak untuk berdiri bahkan mungkin sebentar lagi akan menjauh.
"Sudah selesai bersenang-senang dengan rafi?"
"Justin berhentilah membicarakan itu!" ucapku sedikit kesal. Justin kembali menghadap ke arahku,
"Memangnya kenapa? Kau tak suka? Seharusnya kau senang. Senang karena bisa mendapatkan banyak lelaki."
"Kau cemburu?"
"Tentu saja aku cemburu! Aku itu milikmu!" nadanya semakin tinggi. Aku menutup mata perlahan berusaha untuk tenang,
"Dan kau percaya dengan fanny? Daripada aku?" dia terdiam. "Kau cemburu karena hal yang dusta?" dia terdiam lagi menatapku. "Kau marah karena aku pernah menjadi milik rafi? Padahal sekarang sudah tidak? Kau tahu? Seberapa cemburunya aku saat aku melihatmu bersama caitlin? Seberapa cemburunya aku saat melihat caitlin yang menjagamu? Bukan aku? Seberapa kuatnya aku di indonesia untuk melupakanmu? Kau tahu kenapa aku mengakhiri hubunganku dengan rafi? Itu karena kau. Karena kau alasan dari segalanya. Karena rafi, aku berusaha untuk tak melupakanmu, aku berusaha untuk tetap menunggumu selama hampir lima tahun. Hampir setiap hari aku menangisimu karena kau melupakanku." air mata ini perlahan turun. Turun tanpa berhenti. Justin menatapku sayu. "Rafi memang menaruh kenanganku bersamanya. Tapi apa salah? Apa salah kenanganku itu disimpan rapat-rapat? Rafi tetap menjadi sahabatku. Dia akan selalu menjadi sahabatku dan aku akan terus memilihmu." aku menghela napas berat, "Aku tahu fanny memberitahumu. Kau tahu kenapa dia memberitahumu? Karena hubungannya dengan rafi sedang tak baik. Fanny menemukan foto-fotoku bersama rafi di kamar rafi. Kau juga menyimpan foto-fotomu bersama caitlin kan? Aku tahu kau tak mungkin menghilangkan semua kenangan nyata itu. Aku tak peduli dengan hal itu. Karena kau memang pantas untuk menaruh caitlin sebagai kenangan yang indah." pandanganku buram karena banyaknya air mata yang menumpuk.
Sebuah pelukan datang kearahku, "Aku memercayaimu. Maafkan aku gea." aku tak menjawabnya. Aku terisak. Aku menaruh wajahku di pundaknya, berusaha untuk memberhentikan tangisan lemah dan sialan ini. "Aku terlalu percaya dengan fanny. Aku terlalu emosi pada saat itu. Maafkan aku. Ini salahku. Aku terlalu berlebihan. Maafkan aku. Aku memang lelaki yang bodoh. Maafkan aku." kata 'maafkan aku' selalu aku cerna. Ya, tentu saja aku memaafkannya.
"Biarkan aku dan rafi tetap bersahabat layaknya kau dengan caitlin." ucapku masih dengan nada yang parau. "Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu."
"Maafkan aku." ucapnya lagi. Sekarang, suaranya yang mulai parau. Dia menangis. Menangis karena siapa?
"Aku telah memaafkanmu justin. Maafkan aku juga."
"Tidak. Kau tak salah. Aku yang salah. Aku benar-benar gila."
Aku melepaskan pelukan dan memutar bola mataku, "Astaga ayolah. Hentikan pembicaraan ini." ucapku berusaha untuk tersenyum dan terkekeh, "Jadi, bagaimana antara kau dengan sonya? Sudah bersenang-senangnya?"
Justin tertawa, "aku tak menyukainya. Tenanglah, aku hanya berbohong. Aku tak mungkin melakukan itu." aku tersenyum, "Jadi? Kita mau ke Indonesia kapan?"

YOU ARE READING
Dear Justin (Always, you)
FanfictionDear Justin, terimakasih telah menepati semua kata-kata yang kau ucapkan. Terimakasih telah menunggu. Aku rela mengulang semuanya dari awal, bersamamu. Kenangan itu memang tak akan kau ingat tapi akan selalu ada dalam otakku. Memori yang selalu tert...